MENGECEK CORONG RAKYAT.
TIDAK ada demokrasi tanpa
pemilihan umum, dan tak ada pemilihan umum tanpa partai politik. Begitulah
postulat klasik yang diakui sejak kedaulatan rakyat dalam sebuah Negara
dijunjung tinggi, sampai sekarang. Pertanyaannya, apakah semua partai politik
secara otomatis boleh sebagai peserta pemilu?
Kalau jawabannya tidak, berarti bisa disebut mencederai semangat demokrasi. Sebab, dalam sebuah Negara yang menganut paham demokrasi, rakyat diberi kebebasan berkumpul dan berserikat termasuk membentuk sebuah partai politik. Nah, kalau ada partai politik yang tidak boleh ikut pemilu berarti ada sekelompok orang yang suaranya terabaikan. Anggota parpol tersebut tidak terwakili.
Tapi kalau jawabannya, boleh, berarti parpol yang tidak memenuhi persyaratan diperlakukan sama dengan parpol yang memenuhi persyaratan. Dan ini tentu melanggar pula asas keadilan. Sebab sebuah parpol boleh dideklarasikan berdiri walaupun belum memenuhi persyaratan secara lengkap. Bagaimana mungkin sebuah parpol layak disebut sebagai sebuah parpol, bilamana tidak memiliki modal sosial seperti jaringan (kepengurusan dari pusat sampai ke daerah), sejumlah pengurus, sejumlah anggota, keterwakilan perempuan 30 persen, dan seterusnya. Semuanya harus ada secara factual, tidak boleh hanya sekedar proforma belaka.
Kalau jawabannya tidak, berarti bisa disebut mencederai semangat demokrasi. Sebab, dalam sebuah Negara yang menganut paham demokrasi, rakyat diberi kebebasan berkumpul dan berserikat termasuk membentuk sebuah partai politik. Nah, kalau ada partai politik yang tidak boleh ikut pemilu berarti ada sekelompok orang yang suaranya terabaikan. Anggota parpol tersebut tidak terwakili.
Tapi kalau jawabannya, boleh, berarti parpol yang tidak memenuhi persyaratan diperlakukan sama dengan parpol yang memenuhi persyaratan. Dan ini tentu melanggar pula asas keadilan. Sebab sebuah parpol boleh dideklarasikan berdiri walaupun belum memenuhi persyaratan secara lengkap. Bagaimana mungkin sebuah parpol layak disebut sebagai sebuah parpol, bilamana tidak memiliki modal sosial seperti jaringan (kepengurusan dari pusat sampai ke daerah), sejumlah pengurus, sejumlah anggota, keterwakilan perempuan 30 persen, dan seterusnya. Semuanya harus ada secara factual, tidak boleh hanya sekedar proforma belaka.
Agar sistem multi partai yang
kita anut memenuhi kaidah-kaidah sistem kepartaian dalam sebuah Negara pada
umumnya, dan ada pedoman yang jelas dan tegas (limitative), maka persyaratan
sebuah partai politik kita diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
02 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik. Aturan-aturan dasar itulah yang dicek kebenarannya oleh KPU. Dengan
demikian semua parpol yang mengikuti pemilihan umum telah memenuhi persyaratan
minimal. Dengan demikian juga diharapkan, partai politik bisa memainkan
fungsinya secara optimal sebagai corong rakyat, sebagai pengeras suara aspirasi
rakyat, sekaligus sebagai telinga bagi pemerintah.
Dewasa ini, belum optimalnya
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan lembaga legislative
(DPR dan DPRD) lebih banyak disebabkan karena kader-kader parpol yang duduk di
lembaga tersebut kurang memahami kedudukan dan fungsinya. Belum optimal, bisa
karena dua aspek: pertama, karena rendahnya kapasitas sehingga kurang memahami
dengan baik tugas pokoknya; kedua, karena faktor integritas. Walaupun
masing-masing anggota legislative telah menandatangani pakta inegritas, tapi
pakta integritas itu tidak dipahami sebagai sebuah kontrak politik dengan
rakyat.
Bahkan parpol sering
dikambinghitamkan dan harus menanggung dosa atas kinerja anggota-anggotanya di
badan legislative, apalagi berkaitan dengan isu korupsi, mafia anggaran, atau
praktik-praktik illegal seperti pemerasan, permintaan upeti dan sebagainya.
Parpol dianggap belum melaksanakan fungsi rekrutmen politik dengan baik
sehingga mengutus kader-kadernya yang tak patut untuk duduk sebagai anggota
dewan yang terhormat.
Kontroversi verifikasi atau
pengecekan persyaratan parpol, memang dilematis. Ada pengamat yang menyebut
keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu di luar batas-batas
kewenangannya, sebab DKPP mestinya hanya mengurusi pelanggaran kode etik. Tapi
DKPP punya alasan, ada praktik dissimilar process (perlakuan berbeda,
ketidaktaatan azas) sehingga menimbulkan keraguan, kecurigaan, dan
ketidakpercayaan.
Mau "kelompok 16", mau
"kelompok 18" biarkan sajalah. Uji terakhir kelak di 2014 rakyat yang
akan menentukan pilihan secara LUBER dan JURDIL. Habis perkara.
Sumber : drh.chaidir.net
0 komentar:
Posting Komentar