Rabu, 25 Juli 2018



Rancangan RKPDes “Berwajah” Beton
Oleh : MULIADI (PLD) Wanasaba

Add caption
Amanat undang-undang, Desa diberikan kewenangan untuk mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan warganya, desa diberi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Sejak disahkannya Undang-undang tentang Desa, Desa diberikan dukungan pendanaan yang memadai. Kewenangan desa yang besar dan dukungan keuangan yang memadai, diharapkan akan mampu mempercepat pemberdayaan desa menuju desa yang sejahtera, kuat, maju, dan mandiri.
Menjelang akhir tahun untuk tahun berikutnya, Fardhu bagi pemerintah desa menyusun RKPDes (rencana kerja pemerintah desa). RKPDes tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). Konten RKPDes adalah memuat program atau kegiatan desa selama satu tahun, terdiri dari program atau kegiatan yang didanai pemerintah desa itu sendiri, maupun program dan kegiatan yang diusulkan untuk didanai oleh pemerintah pusat, baik provinsi maupun kabupaten.
RKPDes sebagai rujukan bagi pemerintah desa dalam menjalankan proses perencanaan yang berkualitas dan rujukan utama untuk menyusun APBDes. Sejak awal bulan juli 2018 ini, khususnya di Kecamatan Wanasaba, pendamping desa dan pemerintah kecamatan telah memulai memasang ancang-ancang dan menyingsingkan lengan baju untuk segera berkoordinasi dengan pemerintahan desa untuk menyiapkan dan menentukan jadwal musdes terkait penyusunan RKPDes.  
Dan di Kecamatan Wanasaba dibentuk 2 (dua) Tim yang terdiri dari pendamping desa pemberdayaan (PDP), pendamping desa teknik infrastruktur(PDTI), pendamping lokal desa (PLD), Kasi PMD dan Sekcam Kecamatan Wanasaba, Tim tersebut secara kontinu mendampingi dan atau memantau pelaksanaan Musdes RKPDes, pada rabu tanggal delapan belas bulan juli, bak rombongan safari ramadhan, kedua tim tersebut menjadi mubalig sosial yang akan banyak memberikan saran dan arahan terkait dengan penyusunan kitab tahunan pembangunan di desa.
Bidang pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi anatomi RKPDes, namun disaat musyawarah desa dalam menyusun RKPDes, suara yang paling nyaring dan lantang adalah suara tentang pembangunan infrastruktur fisik, seperti jembatan, talud, rabat jalan, spal, jalan laven, pembuatan pos ronda, Pavin Blok, penembokan sarana umum seperti polindes, bahkan penembokan tanah kuburan. Pengusulan kegiatan dari berbagai kalangan atau kelompok seperti unsur petani, buruh, pengusaha, pemerhati pendidikan, kesehatan, dan perempuan  seperti grup paduan suara yang bernada sama, bahkan dari kelompok perempuanpun tidak terdengar suara tentang kebutuhan keperempunanannya, untuk kegiatan atau program pemberdayaan hanya terdengar sayup-sayup.
Padahal disebutkan bahwa untuk menuju desa yang sejahtera, kuat, maju, dan mandiri dibutuhkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan kemampuan dan kemadirian masyarakat sesuai potensi dan sumberdaya yang ada agar dapat mempertahankan dan meningkatkan taraf kehidupannya, pemberdayaan masyarakat merupakan  upaya pengembangan kecakapan atau kemampuan dan kemandirian masyarakat. (Panduan KPM Ditjen  PMD 2010).
Diberbagai kesempatan, seperti Musdes RKPDes di Desa Mamben Baru, Tembeng Putik, Wanasaba Daya dan Desa Jineng kecamatan wanasaba, Kasi PMD Kecamatan Wanasaba, Nasihun, S.Pd. dalam arahannya menjelaskan bahwa yang paling penting dalam mewujudkan desa yang maju dan sejahtera, masyarakat diharapakan dapat mengusulkan atau menginisiasi program atau kegiatan pemberdayaan seperti peningkatan keterampilan dan peningkatan kapasitas lainnya “kalau membangun rabat, jalan, talud dan sejenisnya memang tidak ada yang salah bahkan dianjurkan dan kelihatannya desa nampak lebih maju, akan tetapi kegiatan pembangunan tersebut tidak berdampak signifikan untuk kemandirian desa bila dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan seperti pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kafasitas masyarakat” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa pembangunan infrastruktur fisik akan selalu meminta dana atau anggaran karena pasti mengalami kerusakan dan perlu direhab, berbeda dengan pelatihan keterampilan, justru akan menghasilkan peningkatan ekonomi bagi masyarakat itu sendiri “kalau jalan, talud,rabat dan lain-lain, setahun atau dua tiga tahun pasti mengalami kerusakan dan tentu butuh anggaran lagi, kalau ilmu atau keterampilan, seumur hidup tidak akan hilang bahkan  dapat memberikan penghasilan bagi orang itu sendiri” bebernya.
Namun demikian, pada sesi diskusi dan penyampaian masalah dan aspirasi saat musdes berlangsung, pembangunan fisik infrasturuktur selalu mendominasi dan selalu berada pada nomer wahid, keluh kesah warga hanya soal belum direhabnya rabat gang, belum ditaludnya pinggir jalan, belum dibangunnya taman posyandu dan sejenisnya, soal pemberdayaan dan pembinaan kemasyarakatan seolah menjadi cadangan ketika kebingungan atas infrastruktur apa yang hendak dibangun.
Jangan mengajukan usulan kegiatan hanya berdasarkan keinginan semata, akan tetapi harus berdasarkan kebutuhan, jangan fisik saja yang kita pikirkan, pikirkan juga mengenai pemberdayaan, pembinaan kemasyarakatn, juga tentang perempuan yang memiliki potensi dan keterampilan, perempuan juga punya masalah, perempuan yang yang hadir dalam musdes ini harus menyuarakan masalah dan kebutuhannya, demikian dikatakan M. Fauzan Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) Kecamatan Wanasaba disetiap Musdes RKPDes.
Menyinggung soal perempuan, tingkat partisipasi perempuanpun terlihat sangat rendah, partisipasi mulai dari perencanaan pelaksanaan dan evaluasi tentu saja sangat diharapkan dalam upaya membangun desa yang kuat dan mandiri, namun seringkali perempuanpun tak mampu menyuarakan masalah dan kebutuhannya sendiri, misalnya tentang kesehatan reproduksi (Kespro) perempuan, tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP), akses perempuan terhadap pekerjaan, kesetaraan gender dan sejenisnya. Musdes seringkali menjadi ajang kegaduhan soal infrastruktur fisik, tak heran jika nanti RKPDes berwajah Beton.




Minggu, 27 Mei 2018




Laki-Laki berjiwa “Perempuan”
Oleh : Muliadi
(Pendamping Lokal Desa Kecamatan Wanasaba)




Pagi itu sekitar pukul 09.00 wita di Desa Mamben Lauk tepatnya di sebuah Kantor Desa.  Nampak pemandangan berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di sebuah tempat parkir nampak beberapa orang berhijab berkerumun dan berbincang santai yang entah apa yang mereka bicarakan, mereka nampak larut dalam sebuah percakapan yang serius, begitu juga halnya di sebuah aula pertemuan, disebuah bangunan yang cukup teduh itu terlihat pula beberapa kaum hawa menempati korsi yang masih belum banyak terisi.
Sejurus kemudian terdengarlah arahan agar semua undangan memasuki tempat yang disediakan, karena acara akan segera dimulai. Beberapa laki-laki terlihat menempati meja paling depan, laki-laki tersebut merupakan Pendamping Desa dan Aparat Desa yang perannya sebagai fasilitator dalam pertemuan tersebut. Perempuan-perempuan berhijab yang merupakan peserta musyawarah nampak duduk tertib menyimak arahan dan paparan terkait agenda hari itu.
Seorang laki-laki bertubuh gempal tiba-tiba dipercayakan oleh moderator untuk mengambil peran paling utama menyampaikan maksud dan tujuan petemuan, ia adalah Muh. Fauzan koordinator Pendamping Desa Kecamatan Wanasaba, ia menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merupakan Musyawarah Khusus Perempuan yang lebih dikenal dengan istilah MKP, musyawarah yang digelar hari itu merupakan muswarah perdana dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
MKP merupakan momen yang sangat penting dan sarana bagi kaum perempuan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, melalui kesempatan terbaik itu, diharapkan perempuan dapat mengungkapkan persoalan-persoalan yang sering dihadapi dalam kodratnya sebagai perempuan, “dikhususkan semua peserta adalah perempuan agar perempuan dapat berleluasa mengemukakan persolan-persoalan keperempuanannya dan dapat menyuarakan ide dan gagasanya, sehingga mereka secara berangsur dapat terbebas dari lilitan persoalan yang kerap menghadang” papar Muh. Fauzan.
Duduk paling belakang, seorang laki-laki gondrong nampak pula mengikuti alur musyawarah dengan seksama, ketika sesi dialog dibuka, laki-laki tersebut nampak genit, sesekali berdiri, duduk dengan gelisah, seolah ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman dan ingin mengatakan sesuatu. Ia adalah  M. Tohri seoarang Pendamping Desa Teknis Infrastruktur (PDTI), rupanya ia tak sepakat dengan metode dialog saat itu, perempuan yang diberikan kesempatan untuk angkat bicara tidak semestinya langsung ditanggapi apalagi usulan dan pendapatnya dipotong-potong dengan penjelasan yang mungkin tidak dikendaki, terkesan perempuan-perempuan itu belum diberi tempat yang leluasa untuk mengemukakan hasrat hatinya, menurutnya, metode yang paling tepat adalah mengelompokkan perempuan-perempuan tersebut kedalam beberapa kelompok dan mendiskusikan segala persoalannya dengan rekan-rekannya dan didampingi oleh PD dan PLD yang hadir. “perempuan-perempuan ini sepertinya tidak terbiasa berbicara di sebuah forum terbuka semacam ini, apa lagi dengan diharuskan memegang mic, dan semua mata tertuju padanya, tentu menjadi derita dan belenggu yang mengekang kebesannya untuk berkeluh kesah” jelas M. Tohri.
Ide itupun diamini oleh pendamping lainnya, para pesertapun setuju dengan metode yang diharapkan M. Tohri. Dalam diskusi kelompok yang berlangsung cukup akrab dengan sesama kelompoknya itu, para perempuan yang berasal dari beberapa dusun itupun terlihat mampu menyusun beberapa usulan yang diyakini mampu menjadi solusi bagi persoalannya.
Laki-laki gondrong berpakaian layaknya seorang calo penumpang diterminal bus itu, nampak tengah menseriusi percakapan kelompok yang didapinginya, dihadapan para perempuan-perempuan itu, ia terlihat tengah berjuang membaca pikiran-pikiran dari orang-orang yang ada dihadapannya, ia menekankan para perempuan agar mengusulkan dan mendorong lembaga-lembaga strategis desa dapat memberi ruang yang cukup bagi perempuan untuk dapat masuk sebagai anggota seperti BPD dan LKMD misalnya. Menurutnya, Persoalan ketimpangan gender tercermin jelas dalam rendahnya keterwakilan perempuan di struktur lembaga perwakilan desa. Proporsi perempuan yang  jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan proporsi laki-laki.
Jika dikaji lebih mendalam, tentu apa yang dikatan M.tohri dapat diterima akal sehat. Kehadiran perempuan di lembaga-lembaga  yang dapat mempengaruhi kebijakan desa memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender, sebab seringkali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena adanya perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya. Ketidak hadiran perempuan pada posisi strategis berimplikasi langsung pada kebijakan-kebijakan desa yang cenderung tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Jumlah keterwakilan yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan sebuah keputusan.
M. Tohri menyatakan bahwa pada suatu pembahasan masalah yang beranggotakan dominasi laki-laki dan terdapat satu perempuan misalnya, ketika anggota perempuan tersebut berupaya menyampaikan ide agar keputusan yang diambil mempertimbangkan kepentingan perempuan, maka para anggota yang note bene-nya laki-laki menganggap seakan hal itu sesuatu yang tidak penting atau jika terjadi voting tentu saja tidak akan mendapat dukungan suara terbanyak untuk dapat diambil sebagai sebuah keputusan.
Kondisi tersebut kemudian memberi kesadaran para perempuan bahwa jumlah yang signifikan juga sangat rasional diperlukan agar mampu mempengaruhi keputusan yang diambil. Alasan – alasan tersebut merupakan bagian dari pertimbangan bahwa kuantitas sangat penting, bukan hanya kualitas. Memberi tempat lebih banyak bagi perempuan dalam lembaga-lembaga strategis  akan memberikan angin segar dan harapan bagi perubahan keputusan yang arogan dan patriakri.
“Salah satu cara yang dipilih sebagai strategi perjuangan adalah upaya agar kuota 30 persen perempuan di lembaga-lembaga desa yang ada  menjadi dapat terwujud. Setidaknya jangan sampai posisi perempuan dalam lembaga-lembaga yang ada khususnya di desa masih terpinggirkan dan terkucilkan” jelas M. Tohri.
Disela-sela diskusi, Bahtiar Ripai Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP), juga turut menyatakan dihadapan puluhan peserta Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) bahwa Sebagai seorang wakil perempuan yang di undang mewakili masing-masing Dusun, sudah sepatutnya sebagai wakil harus mampu menyuarakan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan yang diwakilinya. Dalam kesempatan tersebut, Bahtiar Ripai juga menghimbau kepada perempuan untuk focus kepada persoalan perempuan, “ini ruang khusus perempuan membicarakan persoalan perempuan, jangan dicampur aduk dengan persoalan anak, karena persoalan anak dapat dirumuskan secara khusus yakni pada Musyawarah Khusus Anak” terangnya.



Tuaq Adhi

Aku hanya menulis ketika ada bisikan hati. Aku tak akan menulis jika terpaksa apalagi dipaksa. Karena Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki.

Utama

Cari Disini

Adhi. Diberdayakan oleh Blogger.

Ucapan

TERIMAKASIH TELAH BERKUNGJUNG DI Senandung Anak Desa

Translate

Kutipan

Semua manusia memliki potensi utk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yg benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikirn yg mengklaim sbg benar secara mutlak, dan yg lain berarti salah secara mutlak, adlh pemikiran yg bertentangan dgn kemanusiaan dan keTuhanan.

Note

Tidak ada satupun peradaban yang terlahir di bumi ini tanpa proses hijrah, Harimau yang terkenal sebagai raja rimba akan tetap dalam kelaparan kalau dia tidak meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, keindahan sayap kupu-kupu akan menjadi keindahan pribadi tanpa bisa di nikmati orang kalau dia tidak meninggalkan kepompongnya, begitu juga halnya dengan manusia dia tidak akan mernjadi manusia paripurna kalau dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk menggali ilmu ilahi.

Popular Posts