Kamis, 06 Februari 2020




Getaran besar menyapa, goncangan mencekam jiwa-jiwa manusia, jerit tangis terdengar hampir memecah gendang telinga menjadi awal pagi kami di tanah yang terkenal dengan pulau seribu masjid. Ahad 29 juli 2018 pukul 06.45 WITA terjadi Gempa bumi dengan kekuatan 6,4 SR yang meluluh lantahkan bumi Lombok. Ketenangan hati telah direnggut oleh gempa bumi, hari-hari dipenuhi dengan rasa takut dan gelisah yang tak henti akibat gempa susulan  yang terjadi berulang kali. Syukurnya rumahku hanya terdapat retakanretakan, sehingga masih bisa ditempati.

Tepat satu pekan sejak kejadian pertama gempa terjadi, saat itu aku, ibu, dan dua adikku sedang melaksanakan shalat isya bersama, pada rakaat yang ke tiga kami digoncang dengan gempa bumi yang lebih besar dari sebelumnya yakni 7,0 SR, kami menghentikan shalat lalu berlari menuju pintu, namun sebelum itu terdengar pecahan kaca, suara pecahan kaca itu seperti suara halilintar dan disaat bersamaan listrik padam, kami keluar melewati reruntuhan rumah, ku peluk kedua adikku dan ibuku sambil melihat rumah disekeliling kami yang bergoyang dan berjatuhan. Peristiwa itu cukup membuat lutut bergetar, jantung berdebar kencang, ketenangan menghilang, ketakutan mencekam, kekhawatiran menyerang. Getaran itu memberikan trauma yang mendalam. Malam itu begitu mengerikan, ditambah isu tsunami akibat gempa besar yang terjadi. Warga berdesak-desakan menaiki truk untuk mengungsi ke perbukitan, sedang aku, ibu dan dua adikku menunggu semua anggota keluarga untuk berkumpul.

Malam itu kampung halamanku tak berpenghuni yang tinggal hanya aku dan keluargaku, kami tidak pergi sepeti warga yang lain karena para orang tua dari keluargaku tidak mempercayai isu tentang tsunami tersebut, namun untuk menghindari reruntuhan rumah, kami berkumpul dan duduk di pinggir jalan raya, setelah beberapa lama, aku, ibu dan sepupuku bergiliran untuk melakukan shalat isya yang sempat terhenti saat gempa terjadi. Malam terasa begitu panjang, adik-adik dan sepupuku yang kecil-kecil tertidur dipangkuan para orang tua sedang aku dan para orang tua terjaga hingga fajar tiba. Kali ini rumahku tak layak untuk dihuni kembali. Rumah yang dulu ditempati kini tak sanggup berdiri, kalimat “rumahku istanaku” tak lagi bersemai dihati, setiap bangunan dihindari, dijauhi, dan ditinggal pergi. Setelah melihat kondisi rumah, aku dan keluarga sepakat untuk mengungsi ketempat warga yang lain mengungsi yakni di lapangan untuk mendirikan tenda.

Tercatat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, gempa bumi Lombok dengan kekuatan 6,4 SR, dan gempa susulannya terjadi sebanyak 570 kali sejak tanggal 29 Juli 2018 sampai tanggal 4 Agustus 2018. Sedang gempa bumi dengan kekuatan 7,0 SR, dan gempa susulannya terjadi sebanyak 679 kali sejak tanggal 5 Agustus sampai tanggal 15 Agustus 2018. Entah kapan gempa bumi ini akan berhenti, rasa takut selalu menghampiri jiwa-jiwa kami, kecemasan selalu membersamai, isu-isu gempa bumi yang lebih besar akan terjadi, pencuri, dan hal-hal aneh tak henti menjadi tabu pada mayarakat kami. Inilah kampung halamanku yang dijuluki “Pulau SeribuMasjid” yang kini menjadi “Pulau Seribu Gempa  Bumi”.

Tanggal 13 Agustus aku pergi ke Mataram untuk mencari informasi mengenai perkuliahan, karena saat itu aku sudah menyelesaikan semester 4 di Universitas Mataram. Selama di perjalanan aku banyak melihat acara-acara seperti gerak jalan indah dan pawai adat tetap dilangsungkan meski dalam keadaan masih berduka akibat gempa. Rasa banggaku pada masyarakat pulau ini yaitu mereka yang tetap mencintai tanah air dan tetap menghargai pahlawan yang berjuang demi sebuah kemerdekaan negeri. Meski dalam keadaan berduka akibat gempa bumi, kami tak lupa untuk tetap melaksanakan perayaan hari merdeka.
Kegiatan seperti gerak jalan indah, pawai adat tetap dilaksanakan seperti setiap tahunnya, sedang upacara bendera 17 Agustus dilaksanakan dilapangan bersama tenda-tenda warga, dan hal ini terjadi diberbagai tempat di wilayah pulau ini.

Trauma akibat bencana tak mampu mengalahkan rasa cinta pada pejuang bangsa untuk mencapai merdeka. Inilah kami bagian kecil dari bangsa Indonesia yang tetap mencintai tanah air indonesia, yang melawan rasa takut dan trauma karena gempa demi berkibarnya bendera pusaka. Jayalah Negeriku, Jayalah Indonesiaku. Salam cinta dari pulau seribu gempa untuk Indonesia jaya.




Baiq Wigisni Zahrah
Pringgabaya, Lombok Timur NTB

0 komentar:

Tuaq Adhi

Aku hanya menulis ketika ada bisikan hati. Aku tak akan menulis jika terpaksa apalagi dipaksa. Karena Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki.

Utama

Cari Disini

Adhi. Diberdayakan oleh Blogger.

Ucapan

TERIMAKASIH TELAH BERKUNGJUNG DI Senandung Anak Desa

Translate

Kutipan

Semua manusia memliki potensi utk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yg benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikirn yg mengklaim sbg benar secara mutlak, dan yg lain berarti salah secara mutlak, adlh pemikiran yg bertentangan dgn kemanusiaan dan keTuhanan.

Note

Tidak ada satupun peradaban yang terlahir di bumi ini tanpa proses hijrah, Harimau yang terkenal sebagai raja rimba akan tetap dalam kelaparan kalau dia tidak meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, keindahan sayap kupu-kupu akan menjadi keindahan pribadi tanpa bisa di nikmati orang kalau dia tidak meninggalkan kepompongnya, begitu juga halnya dengan manusia dia tidak akan mernjadi manusia paripurna kalau dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk menggali ilmu ilahi.

Popular Posts