Selasa, 11 Februari 2020




Disela waktu luangku, inginku curahkan isi hatiku dalam goresan tinta kecil untuk menulis kisah waktu itu. Berharap kau akan membaca tulisan ini sambil tersenyum mengingat kisah itu. Untukmu wanita yang kau berikan julukan Wanita Polos.
aku hanya ingin menyampaikan rinduku untukmu yang telah lama pergi waktu itu. Tak apalah jika tulisan ini bercerita tentang kisah antara anak muda yang ada di desa itu dengan seorang mahasiswi yang sedang melaksanakan KKeN. Bukan untuk memamerkan pada dunia. Tapi untuk membuktikan bahwa kisah itu hanya sekedar igauanku saja.
Tulisan ini bukan motivasi atau sekedar inspirasi, tapi hanya sekedar ungkapan hati yang terpanggil dari panggilan jiwa yang harus disampaikan lewat narasi yang tak terlalu panjang ini. Aku tak ingin memendam kisah ini. Yang ku inginkan hanyalah berbagi cerita dengan pembaca yang setia. Tak hanya itu. Lewat tulisan ini mewakili diriku sendiri mengucapkan terimakasih.Iya, terimakasih atas cerita pendek yang kau lukiskan dalam hidupku.
Unram siapa yang tak kenal nama kampus itu? Kampus yang sering melaksanakan KKN didesaku. Kata KKN sudah tak menjadi asing lagi terdengar di telinga masyarakat ialah program dari kampus dengan tujuan aktualisasi terhadap nilai Tri Darma Perguruan tinggi. Namun, tak sedikit mahasiswa yang menimbulkan Adagium “Diam-Diam, Menyelam” sering terjadi pada mahasiswa yang sedang KKN.
Banyak kenangan yang terlukiskan dalam moment itu. Untuk para spesies jomblo menjadi hal yang wajar dirasakan, saat kerapuhan hati itu terjadi sedikit menguras kesedihanku. Bagaimana Tidak itu terjadi? Jarak dan Waktu tidak lagi berpihak kepadaku.
Ketika raga ini tak lagi berjumpa. Sedang rindu itu menggebu-gebu mengiris kalbu. Merintih menginginkan semua itu kembali lagi. Bukan ingin tak lagi menggubrisnya dalam ingatanku, aku hanya ingin sejenak melupakanmu meski tak bisa.
Tak jarang dalam kegiatan KKN selalu terdengar kisah cinta lokasi. Oh, No!! Semoga tidak terjadi juga padamu. Ya, aku tahu, kehidupan bersama dalam empat puluh lima hari tidak mudah dilupakan. Setiap moment bersama adalah suatu hal manis yang akan dirindukan. Bahkan banyak raga yang menemukan pasangannya disana. Dan hal ini yang membuatku selalu bertanya, masihkah utuh kisah itu dalam ingatanmu?
Raga kita memang saling berjauhan. Di antara bentangan Jalan dan harus merasakan lelah dalam melangkah. Menempuh kilometer untuk menghampirinya. Namun percayalah, suryawangi pernah menjadi saksi atas kisah itu, arah kiblat yang sama akan menyatukan kita dalam do’a. Tak peduli betapa jauhnya kaki melangkah untuk menghampirimu, semoga doa yang tersampaikan akan membuatmu melupakan kisah yang pernah ada itu. Sabarku menjadi simpul erat dalam penantianku.
Taukah engkau rindu itu? Aku mendeskripsikannya saat sedang melihat tempat yang sementara kau hinggapi waktu itu seakan aku sedang memandangmu, namun kenyataannya hanya igauanku saja. Aku mencoba mendeskripsi seperti itu. Bagiku tak ada bedanya. Kau ada disini atau tidak, bayangmu selalu menghantuiku.
Waktu terus berjalan. Aku merasakan ketika aku menulis tulisan ini aku seperti seorang penyair yang sedang menyampaikan isi hati lewat syairnya. Tapi aku sadar aku sekedar makhluk biasa ciptaan tuhan yang ingin menyampaikan rindu lewat tulisan ini. Segera tunaikan tugas muliamu, dan kau gapai cita-citamu. Aku tak ingin kau selalu rindu dengan kisah suryawangi itu.

Penulis Adalah Sekretaris Karang Taruna Surywangi dan Ketua Devisi Promosi dan Publikasi Pokdarwis 
 

Jumat, 07 Februari 2020




Foto : Peserta KKN Tematik Pariwisata dan Anggota Pokdarwis Kelurahan Suryawangi


Aku tak banyak tau tentang apa, kenapa dan bagaimana kalian disana. Cerita tentang hiruk pikuk dan kehangatan hubungan kalian diposko, hanya dapat aku tankap lewat foto yang kalian posting sambil bercanda di WA grup. Kalian begitu akrab dan bersahabat dengan lingkungan dan warga sekitar. Hanya sesekali aku terlibat dan kalian melibatkanku dalam beberapa kegiatan, namun ketahuilah, bahwa aku banyak menyimpan tentang bagaimana hubungan emosional yang kalian bangun dalam kurang-lebih empat puluh hari itu.
Penggalan kisah anak KKN kali ini tentu saja jauh berbeda dengan peristiwa KKN di Desa Penari yang sempat Viral beberapa bulan yang lalu dan terdengar menyeramkan, kisah horor itu konon sampai memakan korban jiwa, peserta KKN ditemukan meninggal dunia, kira-kira begitulah ceritanya, tapi yang satu ini adalah bagaimana sebuah keterasingan menjdi tempat yang mengesankan, dari lingkungan yang terasa asing bagi mereka seolah sirna menjadi lingkungan yang amat berat ditinggalkan, ketemu dengan orang-orang asing berujung serasa bagian dari 'keluarga baru' mereka yang menyenangkan.
Realisasi kegiatan intrakurikuler yang memadukan tri darma perguruan tinggi kali ini dikemas dengan sebutan “KKN Tematik Pariwisata”. Untuk melaksanakan program-program mereka tentu saja harus banyak nge-Pantai, karena obyek wisata yang digarap Pokdarwis dan pemerintah Kelurahan Suryawangi adalah kawasan pantai yang tak pernah sepi oleh pengunjung dan gaduhnya deburan ombak yang tak pernah henti menerpa bibir pantai pelangonan Lengkok.
Disalah satu kegiatan, ada kegiatan penghijauan, dengan menanam pohon di area pantai yang merupakan kegiatan kolaborasi romantis yang indah, kelompok peserta KKN dan Pokdarwis Suryawangi bergerak menyisir lingkar obyek wisata  menghijaukan kawasan pantai. Pagi itu, sambil menanam beberapa jenis pohon, kalian nampak saling melempar senyum, tertawa renyah, saling menggoda dan berfoto ria mengabadikan keharmonisan kalian, begitu juga pada kegiatan sore yakni bersih-bersih pantai dan kegiatan-kegiatan lainnya, suasananya selalu begitu.
disamping itu pula, mereka (pesertaKKN) masuk ke sekolah-sekolah membina pelajar sekolah dasar, ke masjid menyelenggarakan ibadah bersama kelompok karang taruna dan remaja masjid, kekampung dan kerumah-rumah warga berbaur menciptakan keakraban, hingga tak ada yang asing dengan lingkungan yang baru mereka kenal.
Alur cerita Kaka-En dan Pokdarwis  nyaris tak melahirkan kesenduan, pantas ketika perpisahan menghampiri, ada genangan air mata,  ada kesedihan yang mendalam, ada kerinduan yang enggan dilepaskan. Betapa detik-detik itu menjadi sangat sakral dan tak mau dilewatkan begitu saja, seolah dipenghujung pertemuan itu ingin dibuat prasasti emas sebagai bukti sejarah bahwa mereka telah hidup bersama dalam suka cita yang terpatri dalam jiwa masing-masing.
Hari itu, sejak siang hingga larut malam, ucapan terima kasih silih berganti, ungkapan permohonan maaf serta untaian doa-doa mengalir deras, menggelinding menghiasi wall Whatsapp Grup, sisa-sisa air mata yang terpaksa tertahankan telah terwakili oleh symbol emotion di Chat Whatsapp Grup.
Kini..... kalian, kita, sudah tak dapat bertegur sapa lagi, tak dapat berbagi tawa dan canda di pantai, tak dapat berdiskusi, berbincang ria menghabiskan separuh malam diposko kalian, semuannya telah berakhir, waktu telah mempertemukan mereka, maka waktu pula yang menyekat kebersamaannya. Perpisahan yang terjadi dirasa getir, banyak kalimat yang tak mampu terucap, hanya terwakili oleh buliran bening yang merayap dipipi mereka. Sepenggal kisah ber-Kaka-En di Kelurahan Suryawangi menjadi memori terindah yang sulit terlupakan.
Dulu....nama Grup WAnya,“KKN, POKDARWIS, Kr. Taruna”, sekarang berubah menjadi Grup “Keluarga_Suryawangi” ini menandakan bahwa mereka dan warga suryawangi telah menjadi satu ikatan dalam kedekatan emosional.
Sekarang.....jarak dan waktu telah benar-benar menjadi pemisah, sobekan kecil kisah KKN Tematik Pariwisata UNRAM bersama Pokdarwis Suryawangi, Warga Lingkokdudu dan tentang Pantai Pelangonan Lengkok perlahan telah tertiup angin, mungkin saja akan menjadi kembang tidur yang hanya teringat ketika baru bangun saja.
Kami warga beserta alam Suryawangi, berpesan kepada adik-adik yang baik, Gun, Teguh, Agis, Ziad, Nia, Irma, Gustin, Tita, Lila, Yeni, teruslah melangkah, tataplah masa depan kalian, kuatkanlah diri kalian, masih banyak tantangan menunggu dihadapan kalian, doa kami bersamamu.

 “Kenanglah kami, tapi Jangan Rindukan”


Penulis : Adhi
(BuruhHarianLepas)
 


Kamis, 06 Februari 2020




Getaran besar menyapa, goncangan mencekam jiwa-jiwa manusia, jerit tangis terdengar hampir memecah gendang telinga menjadi awal pagi kami di tanah yang terkenal dengan pulau seribu masjid. Ahad 29 juli 2018 pukul 06.45 WITA terjadi Gempa bumi dengan kekuatan 6,4 SR yang meluluh lantahkan bumi Lombok. Ketenangan hati telah direnggut oleh gempa bumi, hari-hari dipenuhi dengan rasa takut dan gelisah yang tak henti akibat gempa susulan  yang terjadi berulang kali. Syukurnya rumahku hanya terdapat retakanretakan, sehingga masih bisa ditempati.

Tepat satu pekan sejak kejadian pertama gempa terjadi, saat itu aku, ibu, dan dua adikku sedang melaksanakan shalat isya bersama, pada rakaat yang ke tiga kami digoncang dengan gempa bumi yang lebih besar dari sebelumnya yakni 7,0 SR, kami menghentikan shalat lalu berlari menuju pintu, namun sebelum itu terdengar pecahan kaca, suara pecahan kaca itu seperti suara halilintar dan disaat bersamaan listrik padam, kami keluar melewati reruntuhan rumah, ku peluk kedua adikku dan ibuku sambil melihat rumah disekeliling kami yang bergoyang dan berjatuhan. Peristiwa itu cukup membuat lutut bergetar, jantung berdebar kencang, ketenangan menghilang, ketakutan mencekam, kekhawatiran menyerang. Getaran itu memberikan trauma yang mendalam. Malam itu begitu mengerikan, ditambah isu tsunami akibat gempa besar yang terjadi. Warga berdesak-desakan menaiki truk untuk mengungsi ke perbukitan, sedang aku, ibu dan dua adikku menunggu semua anggota keluarga untuk berkumpul.

Malam itu kampung halamanku tak berpenghuni yang tinggal hanya aku dan keluargaku, kami tidak pergi sepeti warga yang lain karena para orang tua dari keluargaku tidak mempercayai isu tentang tsunami tersebut, namun untuk menghindari reruntuhan rumah, kami berkumpul dan duduk di pinggir jalan raya, setelah beberapa lama, aku, ibu dan sepupuku bergiliran untuk melakukan shalat isya yang sempat terhenti saat gempa terjadi. Malam terasa begitu panjang, adik-adik dan sepupuku yang kecil-kecil tertidur dipangkuan para orang tua sedang aku dan para orang tua terjaga hingga fajar tiba. Kali ini rumahku tak layak untuk dihuni kembali. Rumah yang dulu ditempati kini tak sanggup berdiri, kalimat “rumahku istanaku” tak lagi bersemai dihati, setiap bangunan dihindari, dijauhi, dan ditinggal pergi. Setelah melihat kondisi rumah, aku dan keluarga sepakat untuk mengungsi ketempat warga yang lain mengungsi yakni di lapangan untuk mendirikan tenda.

Tercatat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, gempa bumi Lombok dengan kekuatan 6,4 SR, dan gempa susulannya terjadi sebanyak 570 kali sejak tanggal 29 Juli 2018 sampai tanggal 4 Agustus 2018. Sedang gempa bumi dengan kekuatan 7,0 SR, dan gempa susulannya terjadi sebanyak 679 kali sejak tanggal 5 Agustus sampai tanggal 15 Agustus 2018. Entah kapan gempa bumi ini akan berhenti, rasa takut selalu menghampiri jiwa-jiwa kami, kecemasan selalu membersamai, isu-isu gempa bumi yang lebih besar akan terjadi, pencuri, dan hal-hal aneh tak henti menjadi tabu pada mayarakat kami. Inilah kampung halamanku yang dijuluki “Pulau SeribuMasjid” yang kini menjadi “Pulau Seribu Gempa  Bumi”.

Tanggal 13 Agustus aku pergi ke Mataram untuk mencari informasi mengenai perkuliahan, karena saat itu aku sudah menyelesaikan semester 4 di Universitas Mataram. Selama di perjalanan aku banyak melihat acara-acara seperti gerak jalan indah dan pawai adat tetap dilangsungkan meski dalam keadaan masih berduka akibat gempa. Rasa banggaku pada masyarakat pulau ini yaitu mereka yang tetap mencintai tanah air dan tetap menghargai pahlawan yang berjuang demi sebuah kemerdekaan negeri. Meski dalam keadaan berduka akibat gempa bumi, kami tak lupa untuk tetap melaksanakan perayaan hari merdeka.
Kegiatan seperti gerak jalan indah, pawai adat tetap dilaksanakan seperti setiap tahunnya, sedang upacara bendera 17 Agustus dilaksanakan dilapangan bersama tenda-tenda warga, dan hal ini terjadi diberbagai tempat di wilayah pulau ini.

Trauma akibat bencana tak mampu mengalahkan rasa cinta pada pejuang bangsa untuk mencapai merdeka. Inilah kami bagian kecil dari bangsa Indonesia yang tetap mencintai tanah air indonesia, yang melawan rasa takut dan trauma karena gempa demi berkibarnya bendera pusaka. Jayalah Negeriku, Jayalah Indonesiaku. Salam cinta dari pulau seribu gempa untuk Indonesia jaya.




Baiq Wigisni Zahrah
Pringgabaya, Lombok Timur NTB

Tuaq Adhi

Aku hanya menulis ketika ada bisikan hati. Aku tak akan menulis jika terpaksa apalagi dipaksa. Karena Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki.

Utama

Cari Disini

Adhi. Diberdayakan oleh Blogger.

Ucapan

TERIMAKASIH TELAH BERKUNGJUNG DI Senandung Anak Desa

Translate

Kutipan

Semua manusia memliki potensi utk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yg benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikirn yg mengklaim sbg benar secara mutlak, dan yg lain berarti salah secara mutlak, adlh pemikiran yg bertentangan dgn kemanusiaan dan keTuhanan.

Note

Tidak ada satupun peradaban yang terlahir di bumi ini tanpa proses hijrah, Harimau yang terkenal sebagai raja rimba akan tetap dalam kelaparan kalau dia tidak meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, keindahan sayap kupu-kupu akan menjadi keindahan pribadi tanpa bisa di nikmati orang kalau dia tidak meninggalkan kepompongnya, begitu juga halnya dengan manusia dia tidak akan mernjadi manusia paripurna kalau dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk menggali ilmu ilahi.

Popular Posts