Jumat, 07 Desember 2012


Di Negeri Jiran Menjadi Jaran (Kuda) 
oleh : adhi

Ilustration


Pulang Malu Ga’ Pulangpun Rindu”,
Inilah bait kalimat yang terucap lirih dari orang tua separuh baya itu, pada tanggal 15 Mei 2012 tepatnya di Bandara Sukarno-Hatta pukul 12.00 WIB. Disudut ruang tunggu itu nampak tiga laki-laki  duduk bersandar dikursi bandara ternama negeri yang dikenal subur ini, laki-laki paruh baya itu memandang orang-orang yang melintas didepannya dengan tatapan hambar, sementara dua laki-laki yang duduk mengapitnya nampak memandang jauh keluar dengan tatapan mata yang hampa. Tak terlihat sekelumit wajah ceria mewarnai air muka ketiga laki-laki itu, dengan berpakaian yang agak sedikit lusuh dan menyekap beg punggung dipangkuan mereka kelihatan terasing dari ratusan orang-orang yang kelihatan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ku hampiri tiga orang laki-laki itu dan kutawarkan tiga botol freshtea dingin dan tiga bungkus roti yang memang ku siapkan utk mereka setelah lama mengamatinya. Nampak kelegaan dari raut wajah mereka menerima minuman dan makanan ringan yang kusodorkan untuk mereka, sepertinya mereka sangat membutuhkannya. Dengan lagak seperti memperlakukan keluarga sendiri, kuramah-tamahi mereka agar tidak sungkan dan enggan kepada. Cerita mereka adalah bahwa bertiga diterbangkan dari Batam Kepulauan Riau, Keluar/pulang dari negara Malaysia dengan jalan gelap/ilegal melalui Batam Kepulauan Riau dan transit di Bandara Sukarno-Hatta jakarta menuju BIL (Bandara International Lombok) untuk pulang kampung setelah paspor/permit mereka sudah tidak berlaku lagi akibat berpindah-pindah kerja. Orang tua paruh baya itu bersama satu keponakan dan satu orang anak bungsunya membeberkan kisah pilunya di negeri tetangga menjadi Buruh Migran. Himpitan ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat Amaq Safri menjatuhkan pilihannya mengadu nasib di negara Malaysia, dengan diiming-iming gaji RM. 1000,- (± Rp. 2.500.000,-) perbulannya oleh oknum PL (Petugas Lapangan) dari salah satu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), Amaq Safri dengan mengajak keponakan yang sudah memiliki istri dan dua orang anak serta anak kandungnya sendiri yang tak tamat SLTA itu brangkat meninggalkan kampung halaman dan keluarganya di Alas Sumbawa, dengan sangat yakin akan mampu mensejahterakan keluarganya dengan mengais rezki sebagai buruh pemotong kelapa sawit di negeri seberang. Dengan wajah sendu Amaq Safri terus mengurai kisah pedihnya di negeri rantau itu, setelah mereka menginjakkan kaki di negara tujuan dan bekerja diperkebunan sawit milik perorangan (bukan Eastate/company) ternyata apa yang dibayangkan dan terencana dengan baik di kampung halaman tak menjadi kenyataan, selama enam bulan hanya mendapatkan uang empat ratus ringgit malaysia sisa potongan makan selama enam bulan perorang, dengan pendapatan gaji yang jauh dari yang dijanjikan dan dirasa sangat minim sekali akhirnya Amak safripun mengikuti ajakan keponakannya untuk berpindah mencari kerja di tempat lain yang lebih layak, bak sinetron di televisi, episode petualangan Amak safri menggapai impiannya dengan kedua anaknyapun berlanjut, pada kesempatan selanjutnya laki-laki paruh baya yang hanya tamatan Sekolah Dasar itupun mendapat pekerjaan kembali, mereka diterima bekerja diperkebunan getah (karet) dengan gaji bulanan RM. 800, tempatnya yang baru ini dirasa lebih baik dari sebelumnya karena Amaq Sapri dan Kedua anaknya bisa menyimpan sedikit gajinya sisa  dari biaya makan dan lainnya. Di tempat yang baru sebagai pekerja Penoreh getah karet tentu Amaq Safri dan kedua anaknya menjadi tenaga kerja ilegal karna meninggalkan tempat yang dimana mereka memiliki Permit atau izin kerja. Dikebun karet itu mereka sangat jauh dari perkampungan setempat bahkan jauh dari tenaga kerja asal indonesia lainnya yang memang sangat banyak mengadu nasib di negara itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinyapun Toke atau majikannyalah yang membawakan ketempat tinggalnya, jarak dari kampung atau tempat-tempat berbelanja diperkirakan mencapai puluhan kilo meter, jika mereka berjalan kaki mereka harus menempuh waktu setengah hari lebih dengan menyusuri ratusan hektar kebun dan hutan lainnya. Menginjak bulan ke-3 mereka mulai terusik dengan adanya pemberitaan melalaui radio setempat yang mengatakan bahwa pemerintah atau Kerajaan Malaysia akan menggelar oprasi terhadap tenaga kerja asing yang ilegal. Rasa ketakutanpun makin menghantui mereka, hari-hari yang terlewati tak lepas dari rasa was-was dan cemas, tidak itu saja ancaman oleh binatang liarpun sering mereka jumpai seperti ular, gajah dan binatang-binatang aneh yang mereka jumpai pada saat tidur dan bekerja karena memang mereka bekerja dibawah perbukitan yang diapit oleh hutan belantara, bahkan anak bungsu Amaq Safri pernah menjadi korban gigitan ular berbisa hingga satu bulan penuh tak dapat bekerja. Merasa tidak nyaman lagi ditempat ini kembali Amaq Safri dan kedua anaknya memilih tempat lain yang dirasa terjamin keamanannya, berawal dari sebuah pertemuan yang tak terduga dengan salah satu pekerja asal lombok yang menawarkan pekerjaan diperkebunan kelapa sawit yang gajinya berkisar sampai dengan RM. 1000,- lebih dan dijamin keamanan oleh pihak Taoke (Boss) ketiga pekerja malang inipun kembali mengikuti tawaran manis orang yang baru mereka kenal, “singkat cerita, empat bulan lamanya bekerja diperkebunan kelapa sawit hanya mendapatkan gaji dari sisa potongan makanan sebesar RM. 200 perorang”, jelas amaq Safri.
Amaq Safri yang berasal dari Desa Gereneng Kec Sakra Timur Lotim NTB yang kemudian transmigrasi pada puluhan tahun yang lalu dan telah menjadi penduduk tetap Alas Sumbawa ini akhirnya memutuskan untuk pulang kekampung halaman setelah dua kali berpindah tempat dan tak mendapatkan hasil yang diharapkan, selama di negara malaysia Amaq Safri dan kedua anaknya hanya dapat mengirim uang satu kali sekedar untuk mengganti tambang (biaya masuk menjadi TKI) saja. Dan hanya berbekal ongkos yang pas-pasan mereka memutuskan untuk pulang menemui keluarga yang telah lama ditinggal tanpa penghasilan, “kami bekerja dimalaysia persis seperti jaran (kuda) yang menarik gerobak atau hanya bekerja untuk mendapatkan makan saja” papar Amaq Safri.

0 komentar:

Tuaq Adhi

Aku hanya menulis ketika ada bisikan hati. Aku tak akan menulis jika terpaksa apalagi dipaksa. Karena Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki.

Utama

Cari Disini

Adhi. Diberdayakan oleh Blogger.

Ucapan

TERIMAKASIH TELAH BERKUNGJUNG DI Senandung Anak Desa

Translate

Kutipan

Semua manusia memliki potensi utk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yg benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikirn yg mengklaim sbg benar secara mutlak, dan yg lain berarti salah secara mutlak, adlh pemikiran yg bertentangan dgn kemanusiaan dan keTuhanan.

Note

Tidak ada satupun peradaban yang terlahir di bumi ini tanpa proses hijrah, Harimau yang terkenal sebagai raja rimba akan tetap dalam kelaparan kalau dia tidak meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, keindahan sayap kupu-kupu akan menjadi keindahan pribadi tanpa bisa di nikmati orang kalau dia tidak meninggalkan kepompongnya, begitu juga halnya dengan manusia dia tidak akan mernjadi manusia paripurna kalau dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk menggali ilmu ilahi.

Popular Posts