Di
Negeri Jiran Menjadi Jaran (Kuda)
oleh : adhi
oleh : adhi
Ilustration |
“Pulang Malu
Ga’ Pulangpun Rindu”,
Inilah bait kalimat
yang terucap lirih dari orang tua separuh baya itu, pada tanggal 15 Mei 2012
tepatnya di Bandara Sukarno-Hatta pukul 12.00 WIB. Disudut ruang tunggu itu
nampak tiga laki-laki duduk bersandar
dikursi bandara ternama negeri yang dikenal subur ini, laki-laki paruh baya itu
memandang orang-orang yang melintas didepannya dengan tatapan hambar, sementara
dua laki-laki yang duduk mengapitnya nampak memandang jauh keluar dengan
tatapan mata yang hampa. Tak terlihat sekelumit wajah ceria mewarnai air muka
ketiga laki-laki itu, dengan berpakaian yang agak sedikit lusuh dan menyekap
beg punggung dipangkuan mereka kelihatan terasing dari ratusan orang-orang yang
kelihatan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ku hampiri tiga orang laki-laki
itu dan kutawarkan tiga botol freshtea dingin dan tiga bungkus roti yang memang
ku siapkan utk mereka setelah lama mengamatinya. Nampak kelegaan dari raut
wajah mereka menerima minuman dan makanan ringan yang kusodorkan untuk mereka,
sepertinya mereka sangat membutuhkannya. Dengan lagak seperti memperlakukan
keluarga sendiri, kuramah-tamahi mereka agar tidak sungkan dan enggan kepada. Cerita
mereka adalah bahwa bertiga diterbangkan dari Batam Kepulauan Riau, Keluar/pulang
dari negara Malaysia dengan jalan gelap/ilegal melalui Batam Kepulauan Riau dan
transit di Bandara Sukarno-Hatta jakarta menuju BIL (Bandara International
Lombok) untuk pulang kampung setelah paspor/permit mereka sudah tidak berlaku
lagi akibat berpindah-pindah kerja. Orang tua paruh baya itu bersama satu
keponakan dan satu orang anak bungsunya membeberkan kisah pilunya di negeri
tetangga menjadi Buruh Migran. Himpitan ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan
keluarga membuat Amaq Safri menjatuhkan pilihannya mengadu nasib di negara Malaysia,
dengan diiming-iming gaji RM. 1000,- (±
Rp. 2.500.000,-) perbulannya oleh oknum PL (Petugas Lapangan) dari salah satu
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), Amaq Safri dengan mengajak
keponakan yang sudah memiliki istri dan dua orang anak serta anak kandungnya
sendiri yang tak tamat SLTA itu brangkat meninggalkan kampung halaman dan
keluarganya di Alas Sumbawa, dengan sangat yakin akan mampu mensejahterakan
keluarganya dengan mengais rezki sebagai buruh pemotong kelapa sawit di negeri
seberang. Dengan wajah sendu Amaq Safri terus mengurai kisah pedihnya di negeri
rantau itu, setelah mereka menginjakkan kaki di negara tujuan dan bekerja
diperkebunan sawit milik perorangan (bukan Eastate/company) ternyata apa yang
dibayangkan dan terencana dengan baik di kampung halaman tak menjadi kenyataan,
selama enam bulan hanya mendapatkan uang empat ratus ringgit malaysia sisa potongan
makan selama enam bulan perorang, dengan pendapatan gaji yang jauh dari yang
dijanjikan dan dirasa sangat minim sekali akhirnya Amak safripun mengikuti
ajakan keponakannya untuk berpindah mencari kerja di tempat lain yang lebih
layak, bak sinetron di televisi, episode petualangan Amak safri menggapai
impiannya dengan kedua anaknyapun berlanjut, pada kesempatan selanjutnya
laki-laki paruh baya yang hanya tamatan Sekolah Dasar itupun mendapat pekerjaan
kembali, mereka diterima bekerja diperkebunan getah (karet) dengan gaji bulanan
RM. 800, tempatnya yang baru ini dirasa lebih baik dari sebelumnya karena Amaq
Sapri dan Kedua anaknya bisa menyimpan sedikit gajinya sisa dari biaya makan dan lainnya. Di tempat yang
baru sebagai pekerja Penoreh getah karet tentu Amaq Safri dan kedua anaknya
menjadi tenaga kerja ilegal karna meninggalkan tempat yang dimana mereka
memiliki Permit atau izin kerja. Dikebun karet itu mereka sangat jauh dari
perkampungan setempat bahkan jauh dari tenaga kerja asal indonesia lainnya yang
memang sangat banyak mengadu nasib di negara itu, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinyapun Toke atau majikannyalah yang membawakan ketempat tinggalnya,
jarak dari kampung atau tempat-tempat berbelanja diperkirakan mencapai puluhan
kilo meter, jika mereka berjalan kaki mereka harus menempuh waktu setengah hari
lebih dengan menyusuri ratusan hektar kebun dan hutan lainnya. Menginjak bulan
ke-3 mereka mulai terusik dengan adanya pemberitaan melalaui radio setempat yang
mengatakan bahwa pemerintah atau Kerajaan Malaysia akan menggelar oprasi
terhadap tenaga kerja asing yang ilegal. Rasa ketakutanpun makin menghantui
mereka, hari-hari yang terlewati tak lepas dari rasa was-was dan cemas, tidak
itu saja ancaman oleh binatang liarpun sering mereka jumpai seperti ular, gajah
dan binatang-binatang aneh yang mereka jumpai pada saat tidur dan bekerja
karena memang mereka bekerja dibawah perbukitan yang diapit oleh hutan
belantara, bahkan anak bungsu Amaq Safri pernah menjadi korban gigitan ular
berbisa hingga satu bulan penuh tak dapat bekerja. Merasa tidak nyaman lagi
ditempat ini kembali Amaq Safri dan kedua anaknya memilih tempat lain yang
dirasa terjamin keamanannya, berawal dari sebuah pertemuan yang tak terduga dengan
salah satu pekerja asal lombok yang menawarkan pekerjaan diperkebunan kelapa
sawit yang gajinya berkisar sampai dengan RM. 1000,- lebih dan dijamin keamanan
oleh pihak Taoke (Boss) ketiga pekerja malang inipun kembali mengikuti tawaran
manis orang yang baru mereka kenal, “singkat cerita, empat bulan lamanya
bekerja diperkebunan kelapa sawit hanya mendapatkan gaji dari sisa potongan
makanan sebesar RM. 200 perorang”, jelas amaq Safri.
Amaq Safri yang berasal
dari Desa Gereneng Kec Sakra Timur Lotim NTB yang kemudian transmigrasi pada
puluhan tahun yang lalu dan telah menjadi penduduk tetap Alas Sumbawa ini akhirnya
memutuskan untuk pulang kekampung halaman setelah dua kali berpindah tempat dan
tak mendapatkan hasil yang diharapkan, selama di negara malaysia Amaq Safri dan
kedua anaknya hanya dapat mengirim uang satu kali sekedar untuk mengganti tambang
(biaya masuk menjadi TKI) saja. Dan hanya berbekal ongkos yang pas-pasan mereka
memutuskan untuk pulang menemui keluarga yang telah lama ditinggal tanpa
penghasilan, “kami bekerja dimalaysia persis seperti jaran (kuda) yang menarik
gerobak atau hanya bekerja untuk mendapatkan makan saja” papar Amaq Safri.
0 komentar:
Posting Komentar