Membantu
Korban Dengan Menciptakan Korban Baru
Pagi
sekitar pukul 9.30 (selong 23 Desember 2012) terjadi Lakalantas (Kecelakaan Lalu Lintas) Sepedar motor vs
Gerobak Pedagang Pentol Bakso. Suasana pagi yang dingin dan kaku menjadi hiruk
pikuk karena menjadi tontonan para pengguna jalan dan masyarakat setempat
lainnya. Tragedi tabrakan ini sontak menyedot perhatian dan menyita waktu
aktifitas hari itu. Pagi itu pentolan bakso, sauce, penusuk lidi, dan berbagai
bumbu lainnya berserakan memenuhi dan mewarnai badan jalan. Begitu banyak orang
terperanjat melihat korban (pedagang pentol bakso) yang terguling dengan
lumuran warna merah di sebagian tubuh dan kepala, namun itu ternyata bukan
darah melainkan sauce tomat. Nampak si pedagang pentol bakso meringis kesakitan
akibat beberapa luka ringan dan siraman air panas pentolan yang mengenai bagian
kaki, kondisi tersebut cukup membuat orang-orang iba melihat si pedagang,
sehingga kerumunan orang-orang lebih terkonsentrasi pada si pedagang, ada yang
memangku, ada yang menyuguhkan air putih netral dan beberapa langkah upaya
bantuan lainnya sebagai bentuk keperihatinan terhadap korban (si Pedagang).
Menurut beberapa saksi mata menuturkan bahwa seorang anak usia remaja (si
Penabrak) dengan mengendarai sepeda motor Revo yang setengah modifikasi melaju
dengan kecepatan tinggi sehingga tanpa terkendali menabarak sipedagang dengan
gerobaknya yang hendak menyebrang jalan menuju salah satu Sekolah Dasar yang
hendak menjajakan pentol baksonya ke para siswa, menurut saksi mata juga
memastikan bahwa si pengendara sepeda motorlah yang bersalah karna mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan tinggi dan terlihat ugal-ugalan. Sedangkan kondisi si
pengendara revo terlihat baik-baik saja, hanya bagian celana yang terlihat
kotor. Pada body speda motor hanya spakbor yang retak dan lampu weser kanan yang
pecah, pada bagian lainnya terlihat lecet ringan.
Pemandangan
berbanding terbalik, perhatian dan
perlakuan terhadap korban tabrakan
sangat jauh berbeda, si pedagang pentol dikerumuni oleh banyak orang sambil
membantu mengusap bekas sauce, memberi air minum dan memapahnya ke tempat yg
lebih teduh. Sedangkan Si pengendara sepeda motor yang divonis bersalah nampak
duduk merunduk, remaja yang ala anak funk itu terlihat gemetaran ketakutan,
nampak beberapa laki-laki kekar berdiri di sampingnya, lalu si anak remaja itu
disuruh bangun. Bentakan kata-kata kasar (memaki, menghujat) dan hentakan kaki
dari beberapa laki-laki itu membuat si remaja terlihat makin panik, sesekali
kerah bajunya di tarik hendak dipukul namun ada saja yg melerai. Anak remaja
itu didesak dan di paksa berdamai (mempertanggung jawabkan kelalaian dan
keugal-ugalannya), anak remaja itupun tak sedikitpun berkata apa-apa hanya
mampu menganggukan kepala.
Apa
yang dapat kita cermati dari peristiwa semacam ini, Pertama : bahwa si pedagang
pentol memang selayaknya mendapat simpati dan empati, korban dari keugal-ugalan
anak remaja itu (pedagang pentol) mengaku bahwa dia hanyalah buruh dagang atau
mengambil upah dari berjualan saja. Total kerugian akibat peristiwa pilu itu
diperkirakan mencapai Rp. 300,000,- (harga pentolan saja). Yang kedua : bahwa
mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan terlebih lagi
dikawasan pendidikan (lintasan anak-anak sekolah), merupakan sebuah pelanggaran
terhadap aturan yang berlaku dan sangat merasahkan, tentu tindakan seperti itu
memang harus di beri sanksi yang tegas. Namun sikap dan tindakan intimidasi, berkata-kata
kasar (memaki, menghujat) tidak dapat di benarkan. Bagaimana orang bisa
menyelesaikan atau mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan segera jika
orang tersebut di buat panik dan ketakutan, padahal sikap bersahabat terhadap
pelaku akan jauh lebih baik dalam menyelesaikan masalah, lebih-lebih keinginan
mereka supaya kejadian tersebut di selesaikan dengan cara adat (kekeluargaan)
tanpa harus melalui proses hukum (melalui kepolisian). Namun yang mereka
pertontonkan di khalayak ramai adalah membantu korban dengan menciptakan korban
baru. Korban baru adalah si remaja pengendara sepeda motor yakni korban
kekerasan. Menurut Erna Herawati (dalam Munandar sulaeman, 2010 : 88) menjelaskan
bahwa tindak kekerasan merujuk pada sebagai bentuk pemikiran, sikap, dan
tindakan yang mengarah pada serangan fisik maupun mental, yang mendatangkan
efek tidak menyenangkan bagi orang yang mendapatkannya dan juga menimbulkan
trauma atau kesedihan bagi mereka yang mengalaminya.
Dengan
demikian, kekerasan dibatasi tidak hanya sebagai bentuk tindakan yang dapat
diamati secara langsung (manifest) tetapi juga pada tindakan dan proses
tindakan yang tujuan kekerasannya baru dapat diamati lewat analisa lebih lanjut.
Batasan ini dipilih karena asumsi penulis bahwa kekerasan dapat terjadi dalam
bentuk yang paling halus, terkemas, dan terselubung, atau lebih dikenal dengan
istilah kekerasan yang tersetruktur hingga yang paling manifest.
0 komentar:
Posting Komentar