BINGKISAN KECIL DARI TOYA
Penulis :
Muliadi
( Peserta PPL KKN KF Program Study Sosiologi )
Program
unggulan pemerintah provinsi NTB adalah 3A ( Absano, Akino, Adono), program ini
terus digaungkan hingga kepelosok-pelosok karena memang tendensi dari program ini adalah akar rumput, Absano
( angka buta aksara nol ) adalah salah satu yang kini penulis
laksanakan yang juga merupakan bagian dari program akademis (KKN KF) yang
berlokasi di Aikmel Utara, Desa Toya, Dasan Liyan Daya. Upaya realisasi Absano
adalah pelaksanaan KF (Keaksaraan Fungsional ) atau bahasa lainnya adalah
Pembrantasan Buta Huruf. Pada tanggal 17 februari 2010 di Desa Toya para kader
berjas merah ( Mahasiswa Peserta KKN KF ), calon Warga Belajar, Toga, Toma dan
element masyarakat lainnya membanjiri Louncing KF yang langsung pandu oleh
orang nomor satu NTB ini (TGB.KH. M. Zainul Majdi. MA)
yang juga dihadiri oleh Bupati Lombok Timur beserta beberapa Insan Pers yang
meliput acara tersebut.
Pada tanggal 19 Februari 2010
merupakan hari perdana penulis/peserta
KKN KF beserta teman-teman datang menemui dan menyapa
sang lansia peserta belajar. Di tempat yang amat sederhana kami telah ditunggu
dan disambut penuh harapan oleh warga belajar yang kesemuanya adalah para
Ibu-ibu lansia, senyum ramah tesungging dari bibir mereka, dari wajah yang
mulai berkerut itu tersirat ada semangat yang menggeliat, ada asa yang takkan
padam. Setelah membagikan kelengkapan belajar dan saling berkenalan tanpa
membuang-buang waktu kami mulai beraksi dengan menulis lalu melontarkan satu
persatu huruf vocal dan abjad lainnya, bak taman kanak-kanak mereka mengikuti
ucapan sang tutor lalu mereka disuruh mengulangi satu persatu, ketika itu
mereka mengkerutkan kening, dari wajah tua itu terlihat betapa mereka begitu kesulitan
untuk mengingat kembali dan menyebut huruf tersebut. Dan seperti itulah
keseharian mereka disetiap proses pembelajaran yang dimulai jelang sorenya,
terkadang suasana belajar terdengar pekikan suara lantang menyebut huruf satu
persatu,
terkadang pula terdengar gemuruh tawa tak tertahankan ketika dari salah satu
mereka tidak bisa menyebut dengan sempurna atau keliru menyebut, ada juga yang
tanpa beban menyebut dan berkata serampangan.
Menginjak hari ke Sembilan, suasan
mendung dan gerimis lembut membasahi sore itu, dan telah tiga jam lebih berlangsung
pembelajaran, terasa sore itu begitu syahdu, terlihat keletihan dan semangat
mengendor dari wajah mereka, lalu kamipun mengakhirinya. Ketika kami pamitan hendak
beranjak pulang salah satu dari mereka tiba-tiba menarik tanganku ketika kami bersalaman,
dari bibir sedikit gemetar itu terucap kata lirih luahkan perasaannya :
(
bahasa sasak khas dasan Liyan )
“
Nak…., bolehkah aku digantikan ?”
“
aku kesal pada diri sendiri, betapa aku sulit sekali bisaatau mengerti “
“
Setiap aku sholat aku selalu berdo’a semoga aku cepat bisa “
“
Uang yang diberikan itu, aku tidak berani pake karna aku belum bisa “
“
Maafkan aku nak……….( keluh Papuq sumawati ).
Hal
senada juga dikeluhkan oleh sebagian mereka.
Ada rasa haru,
kagum dan perihatin merasuk dalam hati kami, lalu kamipun menenangkan dan
memberi semangat untuk mereka agar terus belajar tanpa putus asa.
Dari rankaian penuturan ini, ada beberapa hal yang dapat kita
resapi, yang Pertama bahwa belajar
dimasa tua bagaikan mengukir di atas air dan belajr dimasa kecil bagikan
mengukir diatas batu, yang Kedua dari mereka
betapa nilai luhur dan kejujuran itu menjadi yang utama, Ketiga pendidikan
tidak saja menjadi sebuah kepentingan akan tetapi menjadi sebuah kebutuhan
hidup, dan yang terakhir Peneyesalan itu selalu terlambat datangnya.
Untuk itu tidak ada kata terlambat, mari kita mulai dari diri
sendiri dan sekarang untuk bisa berubah kearah yang lebih baik, kita manfaatkan
waktu dan masa kita untuk membekali diri.
Wanasaba 02 Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar