TENTANG FILSAFAT
PENDIDIKAN
Rasanya tidaklah berlebihan
untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih
penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan
kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau
pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi,
sebagaimana pula masalah pendidikan.
Brodi, seorang pakar filsafat
pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah
menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika,
estetika, maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa
pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide
falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana
dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan
bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan
tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat
dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian
pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan
ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak,
sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari
ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan
sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan
sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia
dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu
Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan
dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan
sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab
sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir,
berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan
hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang
menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut
di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu
Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada
tujuan sebagaimana tersebut di atas.
B. IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA
1. Biografi
Ibnu Khaldun
a. Asal Usul
dan Pendidikannya
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya
adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal
1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama
kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan
keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah
kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia
diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun
menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan
bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau
ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal
meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin
Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia
(Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII
M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara
Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah
antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari
kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu
Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu
Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia
dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah
Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib
mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil
merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan
tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan
akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di
Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang
berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan
Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu
Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun.
Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja
Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan
Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah,
sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan
Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu
Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang
pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu
Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu
Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu
rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu.
Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik
kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu
dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih,
meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak
diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan
Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Adapun pendidikan yang
diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan
filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu
Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari
ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah
Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin
Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli.
Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun
meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun
dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya
pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk
menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di
Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok
bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra.
Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul
fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri
dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah.
Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi
dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah
berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang
hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh
mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal
yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya
yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu
kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu
pengetahuan.
b.
Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa
Memasuki tahun ke-20 dari
usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada
tahu 755 H./1354 Ml., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi
sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya,
karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk
menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap
dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian
pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh
Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun
menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya.
Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama
dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu
Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat
menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang
luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762
H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu
itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.
Rupanya tidak tahan lama Ibnu
Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu
pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan
bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu
Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari
kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin
menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia
mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia
ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian
dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di
daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan
tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan
disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun
terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau,
namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian
ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan
yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana
karena karya-karyanya sudah tersebar di sana.
Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu
sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah
sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan
Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu
tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam
usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr
di Kairo.
c.
Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu
Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Dalam
hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang
istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun,
walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia
melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh
ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping
sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani,
tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki
intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi.
Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami
percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang,
Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam
bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan
Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun
adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles,
dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah
satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga
dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan
intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu
Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya
untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola
paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu
Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik.
Dengan berpola pikir seperti
itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta
sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang
modern.
2.
Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun terkenal sebagai
ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia
terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok
(al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan
dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para
sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai
Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang
sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah
memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala
ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif
dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang
terkenal di antaranya adalah:
1. Kitab
Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri
dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang
merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang
mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema
muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2. Kitab
al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran
dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa
Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja
Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar,
yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah,
atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang
hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan,
keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan
alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid
kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa
Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu
juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman
dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani,
Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri
dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah
bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya
kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
3. Kitab
al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut
al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi , merupakan
bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai
kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
C. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
1.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pada bab ini akan dibahas
pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun
dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan
bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat
pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam
kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang
lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala
sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Di dalam kitab Muqaddimahnya
Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya
memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun
bahwa:
Barangsiapa tidak terdidik
oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak
memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui
orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak
mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan
alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya.
Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa
secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu
pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis
binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi
akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah
sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses;
kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis
seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah,
sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan
anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia
adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia
mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui
organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia
siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya.
Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai
ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa
yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu
dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu
pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu
serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi
esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala
hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi
suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk
memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu
pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu
Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam
peradaban manusia.
Adapun tujuan pendidikan
menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan
pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat
diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini
al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan
pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak
dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1.
Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan
syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu
potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika
kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2.
Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa
yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam
sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang
sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3.
Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.
Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya
tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau
pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5.
Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran
seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6.
Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair,
khat, seni bina dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin
dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik
mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari
pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu
Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam
yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan
tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita
katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan
prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan
moral.
2.
Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan
Sebelum membahas pandangan
Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum
pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan
kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas.
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada
maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah
dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab
tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap
pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum
modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat
unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan
untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam
pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan
kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat
rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia
mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada
mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar
dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua
ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada
mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran
lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan
hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka
mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar
ilmu pengetahuan tertentu.
Adapun metode yang dipakai
orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa
orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran
al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu
Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan
bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci
untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan
al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan
pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa
yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai
materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen
operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu
itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu
tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah
menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu
ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan
Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam
ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits,
ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan
ilmu ta’bir mimpi.
2. Ilmu-ilmu
filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi
manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini
dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula
kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu
filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika,
b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu
Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi,
namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian,
maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik
menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan
kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu
agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu
‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan
(metafisika)
3. Ilmu alat
yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu
bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat
yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua
kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang
dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu
pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari
ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu
Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara
ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan
ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya
bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia
juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan
ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam
kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para
pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai
metode yang tepat dan baik.
3. Pandangan
Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang
metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya.
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak
bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan
metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar
bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak
didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku
Muqaddimahnya.
Di dalam buku Muqaddimahnya
dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan
pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem
pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal
anak didik.
Kedua: Setelah pendidik
memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik
membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
Ketiga: Pada langkah ketiga
ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih
terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun
sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu
metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun
juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak
didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak,
melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan
percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik
berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang
menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang
benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga
menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan
lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik.
Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya
bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman,
pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan
berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah
dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak
akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian
pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan
pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang
kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki
pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir
universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah
dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.
D.
KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan tentang
Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang
menurut hemat penulis perlu mendapatkan perhatian.
Yakni bahwa sebagai ilmuan
yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar
dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa
sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara
keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan
tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya
mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya
terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan
pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan
bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas
jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial
yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana
bisa hidup bermasyarakat.
Sementara itu Ibnu
Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat
bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan
Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan
kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan.
Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah
yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu
Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta:
Grafiti Press, 1985.
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun
dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1970.
Al-Syaibany, Omar Mohammad
Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Audah, Ali, Ibnu Khaldun
Sebuah Pengantar, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi,
Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Barnadib, Imam, Filsafat
Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta:
Andi Offset, 1987.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu
Khaldun: His Life and Work, New
Delhi: Kitab Bhavan, 1979.
Hadi, Sutrisno, Metodologi
Riset I, Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu
Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Muhaimin, Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Muhammad, AR., Pendidikan di
Alaf Baru, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun,
Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan,
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______, Sistem
Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung:
Diponegoro, 1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh
Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta:
Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu
Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
|
Selasa, 06 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar