NTB dan Politik “Berhenti Sebelum Kenyang”
oleh Rasinah
Abdul Igit
Hampir tidak
ada dari pemimpin kita yang mau disebut berhasil. Sehebat apapun masyarakat
mengapresiasi pembangunan yang telah dijalankan, sang pemimpin tetap saja
menganggap itu belum seberapa. Entah benar-benar merendahkan diri atau
sebaliknya, mereka kok tidak sudi diberikan nilai 10 sekalian. Mereka lebih
senang jika diberi angka 6 atau 7 saja. Lantas kenapa momennya selalu menjelang
pemilu berikutnya?
Sejarah
republik ini menegaskan banyak kisah tentang pemimpin yang selalu merasa “belum
seberapa” menjelang perhelatan politik kembali digelar. Kisah presiden Suharto
yang bisa berkuasa selama 32 tahun, justru dimulai dengan sikap rendah dirinya
disetiap masa pergantian kepemimpinan secara legal. Rumus Suharto sangat
sederhana dan telah dibuktikan efektif oleh para kepala daerah yang ogah
berhenti sebelum kenyang.
Dalam lima
tahun periode pemerintahan, tahun pertama hingga ketiga adalah tahun
“keangkuhan”. Inilah masa dimana seorang kepala daerah ingin menunjukkan kepada
lawan-lawan politiknya, bahwa daerah bisa maju berkat keterampilannya. Beragam
medium dipergunakan. Beragam cara dipakai habis untuk memamer kehebatan itu.
Kepala daerah A misalnya, lebih sreg mengundang massa besar bertajuk
“progress report”. Massa disodorkan fakta-fakta keberhasilan berjam-jam tanpa
boleh disanggah atau diselidiki kebenarannya selang beberapa menit saja. Massa
disuapi laporan kemajuan menggunakan sendok agitasi, lewat suara yang
diserak-serakkan, lewat sound system yang diatur menggelegar.
Massa diberitakan tentang kemajuan yang bisa saja tidak pernah mampir diantara
gerak sosial mereka.
Kepala
daerah B lebih hobi pamer keberhasilan di hadapan tokoh agama. Lha apa
kaitannya? Tapi demikianlah faktanya. Para kyai itu bukan anggota dewan yang
bisa melakukan fungsi pengawasan kinerja eksekutif, tapi sang kepala daerah
terlihat begitu semangat menjelaskan angka demi angka yang menegaskan
keberhasilannya. Kepala daerah itu lupa mengundang si ma’un, salah seorang
jamaah tuan guru yang hidupnya seperti itu-itu saja. Kepala daerah itu juga
lupa bahwa sebagian tuan guru yang diundang justru tidak mempunyai jamaah.
Tahun
keempat dan kelima adalah tahun rendah diri. Cara-cara “sombong” mereka selama
tahun pertama hingga tahun ketiga tiba-tiba lenyap, berganti dengan kerendahan
hati sang pemimpin soal penilaian kerjanya. Cara mendekati masyarakat tidak
lagi dengan seabrek hasil pembangunan, melainkan segudang kekurangan. Begitu
kencangnya tim politik seorang Tuan Guru Bajang (TGB) mengkampanyekan
keberhasilan Islamic Center (IT), mempercepat pembangunan BIL dan segala
aksesnya, pada tahun keempat akan berubah menjadi kalimat “kekurangan”. Begitu
getolnya Zaini Arony atau Sukiman Azmi menyampaikan kecemerlangan daerah
masing-masing, maka tahun keempat akan berubah menjadi pengakuan kekurangan.
“ Kami sudah
maksimal meski hasilnya baru seperti ini, jad beri kami kesempatan sekali
lagi,” kata mereka. “Beri kami waktu menyempurnakannya sekali lagi,” kata yang
lain.
Lanjutkan
Apa Ubah Mana
Mau tau kata
apa yang paling ngetrend selama pelaksanaan hajatan politik? Jawabannya ada
dua; Lanjutkan dan Ubah. Sulit melacak akar sejarah bahasa soal
kenapa dua kata ini tiba-tiba menempel erat dengan adegan politis. Tapi itu
tidak penting untuk dirunut.
Pemilukada
NTB akan digelar beberapa tahun lagi. Dua kata tersebut, dan selanjutnya
menjadi sebuah jargon kampanye, seakan sulit disatukan. Oleh yang memakainya,
kata “lanjutkan” dan “ubah” biasanya dalam posisi yang berhadapan, saling tolak
dan tidak bisa dipertemukan.
Mereka yang
tengah menikmati enaknya jadi penguasa tentu cenderung memilih kata pertama.
Seolah ingin menegaskan, konsekwensi apapun yang terwujud saat mereka di posisi
teratas, tidak boleh tidak dilanjutkan. Jika masyarakat salah memilih tentu
berakibat fatal. Tujuan pembangunan pun bisa ambrol. Secara sifat kata ini
ramah lantaran dibawa oleh para calon yang gencar menjanjikan stabilitas
pembangunan yang diklaim sudah bisa diciptakan. Sekedar contoh, jualan ini akan
menjadi milik TGB jika berniat maju lagu, Zaini Arony, SUkiman Azmi, Suhaili,
atau Johan Syamsu, jika ingin maju lagi.
Kata kedua,
“Ubah” cenderung berkonotasi radikal, kiri, oposan, dan semangat menggantikan
sesuatu. Kata ini lekat dengan mereka yang belum mencicipi sedapnya berkuasa.
Lewat kata ini, para calon hanya ingin berpesan bahwa pemerintahan sekarang
nggak becus, tidak pro rakyat, korup, mandeg dan lain sebagainya. Singkat kata
apapun akan diubah, mau program yang sudah pas, lebih-lebih yang kurang.
Apa korelasi
dua kata diatas dengan realitas dan gerak hidup para pemilih? Sayang saya tidak
bisa mewancarai satu persatu calon kandidat untuk bertanya lebih dalam.
Pertama,
benarkah rakyat demikian sentosanya sehingga mendukung paket yang mengusung
kata “lanjutkan”? Benarkah kebutuhan asasi yang sesuai amanat undang-undang
harus dijamin pemerintah sudah terpenuhi tak kurang satu apapun? Mereka yang
beraliran ‘lanjutkan” biasanya mengukur keberhasilan dengan cara kasar yakni
pembangunan fisik. Ada calon yang memilih memamerkan kondisi terakhir
pembangunan bandara ketimbang keamanan masyarakatnya. Terus ada juga yang
menjajakan program penyulapan lahan hijau menjadi gedung-gedung. Lebih parah
lagi, ada yang tidak bisa apa-apa tapi memang doyan bilang “lanjutkan”. Berani
taruhan kalau ada calon yang dengan lantang teriak “lanjutkan” karena berhasil
menekan angka kemiskinan dalam digit sekian dan sekian.
Kedua,
adakah jaminan bahwa mereka yang baru datang bisa menjanjikan hal-hal baik?
Alat ukur apa yang dipakai masyarakat agar benar-benar yakin bahwa kelompok
“ubah” akan sesuai dengan bahan-bahan kampanyenya? Jika para calon ada yang
sebelumnya menjadi tekong TKI, tuan guru, dan lain-lain, bisakah mengayomi
masyarakat yang demikian kompleks?
Berhenti
Sebelum Kenyang
Warna
politik NTB sudah saatnya dipenuhi oleh politisi yang mengamalkan tradisi
“berhenti makan sebelum kenyang,”. Kekuasaan memang sejatinya seperti makanan
yang terdiri dari berbagai macam jenis. Ada yang mengandung vitamin dan protein
tinggi, ada juga yang mengandung lemak dan zat berbahaya. Timing kekuasaan
yang diatur dengan cermat, tidak hanya akan menyehatkan pemimpin, tetapi juga
menularkan model kepemimpinan sesungguhnya kepada yang dipimpin. Pemimpin yang
tidak mau berhenti sebelum kenyang adalah pemimpin rakus. Pemimpin ini
berpotensi mengidap banyak penyakit dan dapat menular ke rakyatnya. Wallahu
a’lamu bissawab
Gerung/09/01/2012
0 komentar:
Posting Komentar