Selasa, 24 Juli 2012


NTB dan Politik “Berhenti Sebelum Kenyang”

 
Hampir tidak ada dari pemimpin kita yang mau disebut berhasil. Sehebat apapun masyarakat mengapresiasi pembangunan yang telah dijalankan, sang pemimpin tetap saja menganggap itu belum seberapa. Entah benar-benar merendahkan diri atau sebaliknya, mereka kok tidak sudi diberikan nilai 10 sekalian. Mereka lebih senang jika diberi angka 6 atau 7 saja. Lantas kenapa momennya selalu menjelang pemilu berikutnya?

Sejarah republik ini menegaskan banyak kisah tentang pemimpin yang selalu merasa “belum seberapa” menjelang perhelatan politik kembali digelar. Kisah presiden Suharto yang bisa berkuasa selama 32 tahun, justru dimulai dengan sikap rendah dirinya disetiap masa pergantian kepemimpinan secara legal. Rumus Suharto sangat sederhana dan telah dibuktikan efektif oleh para kepala daerah yang ogah berhenti sebelum kenyang.

Dalam lima tahun periode pemerintahan, tahun pertama hingga ketiga adalah tahun “keangkuhan”. Inilah masa dimana seorang kepala daerah ingin menunjukkan kepada lawan-lawan politiknya, bahwa daerah bisa maju berkat keterampilannya. Beragam medium dipergunakan. Beragam cara dipakai habis untuk memamer kehebatan itu. Kepala daerah A misalnya, lebih sreg mengundang massa besar bertajuk “progress report”. Massa disodorkan fakta-fakta keberhasilan berjam-jam tanpa boleh disanggah atau diselidiki kebenarannya selang beberapa menit saja. Massa disuapi laporan kemajuan menggunakan sendok agitasi, lewat suara yang diserak-serakkan, lewat sound system yang diatur menggelegar.  Massa diberitakan tentang kemajuan yang bisa saja tidak pernah mampir diantara gerak sosial mereka.

Kepala daerah B lebih hobi pamer keberhasilan di hadapan tokoh agama. Lha apa kaitannya? Tapi demikianlah faktanya. Para kyai itu bukan anggota dewan yang bisa melakukan fungsi pengawasan kinerja eksekutif, tapi sang kepala daerah terlihat begitu semangat menjelaskan angka demi angka yang menegaskan keberhasilannya. Kepala daerah itu lupa mengundang si ma’un, salah seorang jamaah tuan guru yang hidupnya seperti itu-itu saja. Kepala daerah itu juga lupa bahwa sebagian tuan guru yang diundang justru tidak mempunyai jamaah.

Tahun keempat dan kelima adalah tahun rendah diri. Cara-cara “sombong” mereka selama tahun pertama hingga tahun ketiga tiba-tiba lenyap, berganti dengan kerendahan hati sang pemimpin soal penilaian kerjanya. Cara mendekati masyarakat tidak lagi dengan seabrek hasil pembangunan, melainkan segudang kekurangan. Begitu kencangnya tim politik seorang Tuan Guru Bajang (TGB) mengkampanyekan keberhasilan Islamic Center (IT), mempercepat pembangunan BIL dan segala aksesnya, pada tahun keempat akan berubah menjadi kalimat “kekurangan”. Begitu getolnya Zaini Arony atau Sukiman Azmi menyampaikan kecemerlangan daerah masing-masing, maka tahun keempat akan berubah menjadi pengakuan kekurangan.

“ Kami sudah maksimal meski hasilnya baru seperti ini, jad beri kami kesempatan sekali lagi,” kata mereka. “Beri kami waktu menyempurnakannya sekali lagi,” kata yang lain.

Lanjutkan Apa Ubah Mana

Mau tau kata apa yang paling ngetrend selama pelaksanaan hajatan politik? Jawabannya ada dua; Lanjutkan dan Ubah. Sulit melacak akar sejarah bahasa soal kenapa dua kata ini tiba-tiba menempel erat dengan adegan politis. Tapi itu tidak penting untuk dirunut.

Pemilukada NTB akan digelar beberapa tahun lagi. Dua kata tersebut, dan selanjutnya menjadi sebuah jargon kampanye, seakan sulit disatukan. Oleh yang memakainya, kata “lanjutkan” dan “ubah” biasanya dalam posisi yang berhadapan, saling tolak dan tidak bisa dipertemukan.

Mereka yang tengah menikmati enaknya jadi penguasa tentu cenderung memilih kata pertama. Seolah ingin menegaskan, konsekwensi apapun yang terwujud saat mereka di posisi teratas, tidak boleh tidak dilanjutkan. Jika masyarakat salah memilih tentu berakibat fatal. Tujuan pembangunan pun bisa ambrol. Secara sifat kata ini ramah lantaran dibawa oleh para calon yang gencar menjanjikan stabilitas pembangunan yang diklaim sudah bisa diciptakan. Sekedar contoh, jualan ini akan menjadi milik TGB jika berniat maju lagu, Zaini Arony, SUkiman Azmi, Suhaili, atau Johan Syamsu, jika ingin maju lagi.

Kata kedua, “Ubah” cenderung berkonotasi radikal, kiri, oposan, dan semangat menggantikan sesuatu. Kata ini lekat dengan mereka yang belum mencicipi sedapnya berkuasa. Lewat kata ini, para calon hanya ingin berpesan bahwa pemerintahan sekarang nggak becus, tidak pro rakyat, korup, mandeg dan lain sebagainya. Singkat kata apapun akan diubah, mau program yang sudah pas, lebih-lebih yang kurang.

Apa korelasi dua kata diatas dengan realitas dan gerak hidup para pemilih? Sayang saya tidak bisa mewancarai satu persatu calon kandidat untuk bertanya lebih dalam.

Pertama, benarkah rakyat demikian sentosanya sehingga mendukung paket yang mengusung kata “lanjutkan”? Benarkah kebutuhan asasi yang sesuai amanat undang-undang harus dijamin pemerintah sudah terpenuhi tak kurang satu apapun? Mereka yang beraliran ‘lanjutkan” biasanya mengukur keberhasilan dengan cara kasar yakni pembangunan fisik. Ada calon yang memilih memamerkan kondisi terakhir pembangunan bandara ketimbang keamanan masyarakatnya. Terus ada juga yang menjajakan program penyulapan lahan hijau menjadi gedung-gedung. Lebih parah lagi, ada yang tidak bisa apa-apa tapi memang doyan bilang “lanjutkan”. Berani taruhan kalau ada calon yang dengan lantang teriak “lanjutkan” karena berhasil menekan angka kemiskinan dalam digit sekian dan sekian.

Kedua, adakah jaminan bahwa mereka yang baru datang bisa menjanjikan hal-hal baik? Alat ukur apa yang dipakai masyarakat agar benar-benar yakin bahwa kelompok “ubah” akan sesuai dengan bahan-bahan kampanyenya? Jika para calon ada yang sebelumnya menjadi tekong TKI, tuan guru, dan lain-lain, bisakah mengayomi masyarakat yang demikian kompleks?

Berhenti Sebelum Kenyang

Warna politik NTB sudah saatnya dipenuhi oleh politisi yang mengamalkan tradisi “berhenti makan sebelum kenyang,”. Kekuasaan memang sejatinya seperti makanan yang terdiri dari berbagai macam jenis. Ada yang mengandung vitamin dan protein tinggi, ada juga yang mengandung lemak dan zat berbahaya. Timing  kekuasaan yang diatur dengan cermat, tidak hanya akan menyehatkan pemimpin, tetapi juga menularkan model kepemimpinan sesungguhnya kepada yang dipimpin. Pemimpin yang tidak mau berhenti sebelum kenyang adalah pemimpin rakus. Pemimpin ini berpotensi mengidap banyak penyakit dan dapat menular ke rakyatnya. Wallahu a’lamu bissawab

Gerung/09/01/2012

0 komentar:

Tuaq Adhi

Aku hanya menulis ketika ada bisikan hati. Aku tak akan menulis jika terpaksa apalagi dipaksa. Karena Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki.

Utama

Cari Disini

Adhi. Diberdayakan oleh Blogger.

Ucapan

TERIMAKASIH TELAH BERKUNGJUNG DI Senandung Anak Desa

Translate

Kutipan

Semua manusia memliki potensi utk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yg benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikirn yg mengklaim sbg benar secara mutlak, dan yg lain berarti salah secara mutlak, adlh pemikiran yg bertentangan dgn kemanusiaan dan keTuhanan.

Note

Tidak ada satupun peradaban yang terlahir di bumi ini tanpa proses hijrah, Harimau yang terkenal sebagai raja rimba akan tetap dalam kelaparan kalau dia tidak meninggalkan sarangnya untuk mencari makan, keindahan sayap kupu-kupu akan menjadi keindahan pribadi tanpa bisa di nikmati orang kalau dia tidak meninggalkan kepompongnya, begitu juga halnya dengan manusia dia tidak akan mernjadi manusia paripurna kalau dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk menggali ilmu ilahi.

Popular Posts