Prahara Diujung Harapan
Oleh
: Wigisni Zahrah
|
Ketika itu tahun 2016, aku mengikuti jalur SNMPTN, yakni sebuah sistem yang diiukuti oleh anak sekolah
yang duduk di bangku kelas 3 SMA, jalur SNMPTN itu kutujukan ke Perguruan Tinggi Negeri
yang ada di Yogyakarta, alasanku memilih
Yogyakarta adalah karena kota tersebut dikenal sebagai kota Pendidikan, banyak
dari teman-teman ku juga yang menjadikan Yogyakarta sebagai tempat menimba ilmu
terutuma untuk perguruan tinggi. Aku sudah lama mengimpikan Yogyakarta sebagai
tempat untuk melanjutkan study.
Antara harapan dan realita kerap tak berbanding lurus,
aku menyadari bahwa pilihan melanjutkan study keluar daerah memiliki
dampak berat terhadap kondisi keluargaku saat itu, butuh biaya besar sementara
kondisi ekonomi keluarga tak menjamin keberlangsungan, disisi lain, hasrat
untuk dapat melanjutkan study ke luar daerah kian menggebu, muncul inisiatif bekerja sambil kuliah agar
dapat melonggarkan himpitan kondisi keluarga yang masih terjebak dalam
kesulitan.
Tuhan Maha Mengetahui dan telah membaca setiap denyut
nadiku, angin berhembus menyampaikan kabar baik untukku, kabar itu adalah
tawaran kerja disebuah toko yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Seketika aku menjadi lega, semangatku serasa mengembang
karena ada secercah harapan yang menggelantung dihadapanku.
Kagumku pada waktu yang tak pernah berhianat, ia terus
berputar bak roda pedati yang terus menggelinding, hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, tak terasa, aku telah melewati beberapa bulan lamanya di toko itu,
bukan hanya soal waktu, peristiwapun beragam dan
beraganti ku alami. Petaka mengahadang, aku terkurung pada peristiwa kesalah pahaman antara aku, majikan dan istrinya. Aku dituding memiliki hubungan sepesial oleh sang istri, tuduhan itu berawal dari sebuah pesan yang salah diartikan. Aku memang sering terlibat canda-gurau bersama majikanku,
layaknya antara seorang ayah dan anak, keberadaannya
adalah kehadiran seorang ayah untuk anaknya, aku adalah anak dia majikanku
adalah ayah, itu saja, tak sedikitpun ada rasa selain bahwa dia adalah seorang
ayah bagiku. Dia adalah laki-laki yang baik, karena kebaikannyalah aku merasa melihat sosok ayah dalam dirinya yang dimana aku jarang mendapati ayahku yang begitu dekat denganku. Kerinduanku akan sosok ayah membuatku tak sadar bahwa majikanku adalah
keluarga berbeda yang memiliki keluarga sendiri. Tudingan sang istri bahwa aku dan suaminya memiliki
hubungan terselubung telah menciptakan suasana hati yang gersang, aku tak
mendapatkan kenyamanan lagi dalam bekerja, setiap hari aku mendengar kata-kata
kasar dari mulut perempuan itu, makian dan cacian acapkali merobek gendrang telingaku, betapa getirnya
kurasa, aku dituduh merampas suaminya.
Aku telah terdampar didanau yang kerontang, aku telah
lelah merajut mimpi yang yang tak pasti, “bisakah aku yang masih belia memiliki hubungan asmara dengan laki-laki yang usianya sama dengan usia ayahku ?” tanyaku pada diri sendiri. Tentangku dan tuduhan itu
telah menjadi bola liar yang menggelinding, dikonsumsi secara mentah-mentah oleh semua orang dan
mereka mempertanyakan tentang dirikku. Hatiku bagai teriris, anganku terasa kelam,
jalanku terjal,
aku seperti masuk disebuah jurang yang sangat dalam. Ayah dan ibuku selalu bertanya tentang peristiwa itu, aku berusaha meyakinkan keduanya bahwa aku tidak mungkin melakukan hal seperti yang dituduhkan, ayah
dan ibuku lantas memintaku untuk tidak lagi bekerja ditempat yang telah memporak-porandakan sendi kedamaian
hidupku itu.
Bersambung...... ke Bag. 2 (
Semalam Di Yogyakarta )
0 komentar:
Posting Komentar