Semalam Di Yogyakarta
Oleh :Wigisni Zahrah
Ketika pengumuman
SNMPTN keluar, aku dinyatakan lulus, dengan berbekal nekat aku berangkat ke Yogyakarta seorang diri dengan bekal seadanya. Kepergianku tidak
hanya untuk memenuhi keinginan untuk dapat mengenyam pendidikan perguruan
tinggi, namun aku juga ingin keluar dan melepaskan diri dari lilitan peristiwa
yang hampir membuatku rapuh.
Ayah mengantarku kebandara dengan sepeda motornya, setiba di bandara, saat menuju pesawat, ayah memeluk ku erat, untuk pertama kalinya aku merasakan pelukan seorang ayah, aku baru menyadari bahwa ayah juga sangat sayang padaku, ternyata selama ini ada rasa sayang
yang tersembunyi dibalik sikap kerasnya, rasa sayangnya ia
tampakkan setelah kami tidak akan bersama lagi,
dan disaat
mengharukan ini pula aku mendengar ayah memanggilku dengan sebutan “anakku” untuk pertama
kalinya, air
mata tak tertahankan
merayap dipipiku,
pelik serasa dihati, aku tak dapat berucap sepatah katapun, aku hanya diam, diam dan diam, “aku telah salah memahami ayah”bisik hatiku. Berdosa rasanya, karena
selama ini aku tak pernah menyadari cinta seorang ayah.
Aku terus
melangkah gontai menghampiri pesawat, aku tak sanggup lagi menoleh, melihat ayah lagi, aku terus berjalan menuju pintu pesawat dengan isak dan airmata
yang terus mengguyur,
saat disapa orangpun aku tak mampu membalasnya, hanya ayah dalam pikiranku, tiba-tiba rasa
bersalah menyeruak menghantuiku,
aku merasa sangat bodoh karena tak pernah mengerti ayah, “ayah, ayah, ayah,
maafkan aku,
maafkan anakmu
yang tak pernah memahami kasihmu itu, maafkan aku ayah, maafkan aku”rintih ku dalam hati.
Menjalani hidup
ini memang tak selalu indah, akan selalu ada onak dan duri menyertai setiap
langkah sesiapapun termasuk diriku. Aku belajar tentang ketabahan, aku belajar
untuk selalu bisa kuat, mengejar mimpi dengan banyak keterbatasan sangat rentan
melahirkan keputus-asaan, serupa dengan diriku yang tidak mudah untuk mengumpulkan hasil bekerja untuk biaya
pendidikan, iya,....lebih-lebih biaya pendidikan keluar daerah.
Tanpa terasa
pesawat yang kutumpangi telah landing ditanah Yogyakarta, semua orang yang keluar dari pesawat disambut hangat oleh kerabatnya, sedangkan aku tak satupun
menyambutku, aku hanya berjalan dan berjalan memberanikan diri beranjak pergi dengan ditemani kertas lusuh gambar kota pendidikan itu, tak pernah lepas dari genggaman tanganku, karena kertas
itulah satu-satunya penunjuk arah ke alamat kos teman kelasku dibangku SMA, Ratna namanya. Setelah tiba di kos Ratna, aku masih saja menangis hingga ia pun
bertanya-tanya dan berusaha menenangkanku.
Keesokan harinya, aku pergi menuju Kampus tujuanku yang letaknya tak jauh dari kos tersebut, sehingga dapat kutempuh dengan berjalan kaki. Setiba disana, aku
menerima beberapa lembar form seperti pengeluaran SPP, data biaya pembagunan dan beberapa rilis
pembiayaan lainnya, setelah mengamati lembaran-lembaran itu, aku tertegun
membatu melihat angka-angka yang tertulis rapi dalam beberapa kertas yang
kuterima, sesekali aku harus menarik napas dalam-dalam ketika mataku fokus pada
digit yang tak mampu kujangkau, bekalku hanya seadanya, aku tak punya cukup uang untuk
memenuhi angka-angka yang diminta dalam lembaran kertas itu, di Yogyakarta aku hanyalah sebatangkara dan orang asing, kemana aku meminta bantuan ?, kesiapa aku harus mengadu ?, aku bagai berada diruang
gelap yang tak memiliki jendela. Tatkala tabir surya tersingkap, aku mencoba
untuk merangkak, tertatih-tatih diseret derasnya arus kehidupan dan tersentak
ketika ditampar pahitnya kenyataan.
Tak ada lagi
alternatif yang solutif, aku hanya bisa menasihati diri, menguatkan diri,
menghibur diri, ditengah kebutaan dan kebuntuan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Menimba ilmu dikota bergensi bernama Yogyakarta telah
pupus, aku harus mengubur
mimpi itu dalam-dalam, aku harus berani memilih jalan lain, hati kecilku
berkata bahwa menuntut ilmu haruslah dengan segenap keikhlasan, kesungguhan dan sesuai
kemampuan, bukan karena terobsesi lantas salah tujuan.
Sesampai dikampung
halaman, aku memilih salah satu Universitas yang berada di kota Mataram, saat itu juga aku ditawari sebuah pekerjaan oleh seorang teman, karena mengetahui aku telah kembali dan percaya dengan potensi yang aku miliki. Belajar dan belajar adalah satu-satunya
pintu untuk dapat memiliki energi baru. Usai menempuh uji SBMPTN, akupun dinyatakan
lulus, seketika apa yang kualami menjadi sirna dan melahirkan rasa syukur yang
mendalam karena kini aku telah menyandang predikat sebagai mahasiswi Unram.
Selama masih ada
harapan, tidak ada kata putus-asa.
Ku
dekap asa walau
jalan berliku, perjuangan ini akan tetap berlanjut hingga akhir nanti. Bagaimanapun jalannya akan tetap kuperjuangkan. seperti kata Yus Ibnu Yasin dalam bukunya 1001
Nasehat Untuk Sahabat; ”Kenapa takut melangkah? Takut salah? Satu-satunya orang yang tak pernah salah adalah mereka yang tak berbuat apa-apa”, “Jika dihati kita masih ada secuil harapan, berarti semua masih bisa diperjuangkan”, “Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah adalah dengan terus berjuang, bergerak, berlari, dan mengambil alih Kendali atas tekanan itu”,
“Yang tak pernah merasakan pahitnya perjuangan, takkan pernah mendapat
kesempatan menikmati lezatnya bahagia”.
0 komentar:
Posting Komentar