Laki-Laki
berjiwa “Perempuan”
Oleh :
Muliadi
(Pendamping Lokal Desa Kecamatan Wanasaba)
Pagi
itu sekitar pukul 09.00 wita di Desa Mamben Lauk tepatnya di sebuah Kantor
Desa. Nampak pemandangan berbeda dari
hari-hari sebelumnya. Di sebuah tempat parkir nampak beberapa orang berhijab
berkerumun dan berbincang santai yang entah apa yang mereka bicarakan, mereka nampak
larut dalam sebuah percakapan yang serius, begitu juga halnya di sebuah aula
pertemuan, disebuah bangunan yang cukup teduh itu terlihat pula beberapa kaum
hawa menempati korsi yang masih belum banyak terisi.
Sejurus
kemudian terdengarlah arahan agar semua undangan memasuki tempat yang
disediakan, karena acara akan segera dimulai. Beberapa laki-laki terlihat
menempati meja paling depan, laki-laki tersebut merupakan Pendamping Desa dan
Aparat Desa yang perannya sebagai fasilitator dalam pertemuan tersebut.
Perempuan-perempuan berhijab yang merupakan peserta musyawarah nampak duduk tertib
menyimak arahan dan paparan terkait agenda hari itu.
Seorang
laki-laki bertubuh gempal tiba-tiba dipercayakan oleh moderator untuk mengambil
peran paling utama menyampaikan maksud dan tujuan petemuan, ia adalah Muh.
Fauzan koordinator Pendamping Desa Kecamatan Wanasaba, ia menjelaskan bahwa
pertemuan tersebut merupakan Musyawarah Khusus Perempuan yang lebih dikenal
dengan istilah MKP, musyawarah yang digelar hari itu merupakan muswarah perdana
dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
MKP
merupakan momen yang sangat penting dan sarana bagi kaum perempuan untuk
mewujudkan mimpi-mimpinya, melalui kesempatan terbaik itu, diharapkan perempuan
dapat mengungkapkan persoalan-persoalan yang sering dihadapi dalam kodratnya
sebagai perempuan, “dikhususkan semua peserta adalah perempuan agar perempuan
dapat berleluasa mengemukakan persolan-persoalan keperempuanannya dan dapat
menyuarakan ide dan gagasanya, sehingga mereka secara berangsur dapat terbebas
dari lilitan persoalan yang kerap menghadang” papar Muh. Fauzan.
Duduk
paling belakang, seorang laki-laki gondrong nampak pula mengikuti alur
musyawarah dengan seksama, ketika sesi dialog dibuka, laki-laki tersebut nampak
genit, sesekali berdiri, duduk dengan gelisah, seolah ada sesuatu yang
membuatnya tak nyaman dan ingin mengatakan sesuatu. Ia adalah M. Tohri seoarang Pendamping Desa Teknis
Infrastruktur (PDTI), rupanya ia tak sepakat dengan metode dialog saat itu,
perempuan yang diberikan kesempatan untuk angkat bicara tidak semestinya
langsung ditanggapi apalagi usulan dan pendapatnya dipotong-potong dengan
penjelasan yang mungkin tidak dikendaki, terkesan perempuan-perempuan itu belum
diberi tempat yang leluasa untuk mengemukakan hasrat hatinya, menurutnya,
metode yang paling tepat adalah mengelompokkan perempuan-perempuan tersebut
kedalam beberapa kelompok dan mendiskusikan segala persoalannya dengan
rekan-rekannya dan didampingi oleh PD dan PLD yang hadir. “perempuan-perempuan
ini sepertinya tidak terbiasa berbicara di sebuah forum terbuka semacam ini,
apa lagi dengan diharuskan memegang mic, dan semua mata tertuju padanya, tentu
menjadi derita dan belenggu yang mengekang kebesannya untuk berkeluh kesah”
jelas M. Tohri.
Ide
itupun diamini oleh pendamping lainnya, para pesertapun setuju dengan metode
yang diharapkan M. Tohri. Dalam diskusi kelompok yang berlangsung cukup akrab
dengan sesama kelompoknya itu, para perempuan yang berasal dari beberapa dusun
itupun terlihat mampu menyusun beberapa usulan yang diyakini mampu menjadi solusi
bagi persoalannya.
Laki-laki
gondrong berpakaian layaknya seorang calo penumpang diterminal bus itu, nampak
tengah menseriusi percakapan kelompok yang didapinginya, dihadapan para perempuan-perempuan itu, ia terlihat tengah berjuang membaca pikiran-pikiran dari orang-orang yang ada dihadapannya, ia menekankan para perempuan agar mengusulkan dan
mendorong lembaga-lembaga strategis desa dapat memberi ruang yang cukup bagi
perempuan untuk dapat masuk sebagai anggota seperti BPD dan LKMD misalnya. Menurutnya, Persoalan ketimpangan
gender tercermin jelas dalam rendahnya keterwakilan perempuan di struktur
lembaga perwakilan desa. Proporsi perempuan yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan
proporsi laki-laki.
Jika
dikaji lebih mendalam, tentu apa yang dikatan M.tohri dapat diterima akal
sehat. Kehadiran perempuan di lembaga-lembaga yang dapat mempengaruhi kebijakan desa memberikan
otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada
pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender, sebab seringkali
anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena
adanya perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya. Ketidak hadiran perempuan pada
posisi strategis berimplikasi langsung pada kebijakan-kebijakan desa yang
cenderung tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Jumlah
keterwakilan yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan
sebuah keputusan.
M. Tohri menyatakan bahwa pada suatu
pembahasan masalah yang beranggotakan dominasi laki-laki dan terdapat satu
perempuan misalnya, ketika anggota perempuan tersebut berupaya menyampaikan
ide agar keputusan yang diambil mempertimbangkan kepentingan perempuan, maka
para anggota yang note bene-nya laki-laki menganggap seakan hal itu
sesuatu yang tidak penting atau jika terjadi voting tentu saja tidak akan
mendapat dukungan suara terbanyak untuk dapat diambil sebagai sebuah keputusan.
Kondisi tersebut kemudian memberi
kesadaran para perempuan bahwa jumlah yang signifikan juga sangat rasional
diperlukan agar mampu mempengaruhi keputusan yang diambil. Alasan – alasan
tersebut merupakan bagian dari pertimbangan bahwa kuantitas sangat penting,
bukan hanya kualitas. Memberi tempat lebih banyak bagi perempuan
dalam lembaga-lembaga strategis akan
memberikan angin segar dan harapan bagi perubahan keputusan yang arogan dan
patriakri.
“Salah satu cara yang dipilih sebagai strategi perjuangan
adalah upaya agar kuota 30 persen perempuan di lembaga-lembaga desa yang ada menjadi dapat terwujud. Setidaknya
jangan sampai posisi perempuan dalam lembaga-lembaga yang ada khususnya di desa
masih terpinggirkan dan terkucilkan” jelas M. Tohri.
Disela-sela
diskusi, Bahtiar Ripai Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP), juga turut
menyatakan dihadapan puluhan peserta Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) bahwa Sebagai
seorang wakil perempuan yang di undang mewakili masing-masing Dusun, sudah
sepatutnya sebagai wakil harus mampu menyuarakan dan menyelesaikan berbagai
persoalan yang dialami oleh perempuan yang diwakilinya. Dalam kesempatan
tersebut, Bahtiar Ripai juga menghimbau kepada perempuan untuk focus kepada
persoalan perempuan, “ini ruang khusus perempuan membicarakan persoalan
perempuan, jangan dicampur aduk dengan persoalan anak, karena persoalan anak
dapat dirumuskan secara khusus yakni pada Musyawarah Khusus Anak” terangnya.