Pemilukada dianggap tidak penting. Menjadi Pedagang Gule Gending hingga Ke Luar Daerah.
Menengok Sisi Lain
Aktifitas Masyarakat Di Tengah Hiruk Pikuk Pilkada.
Oleh : Muliadhi, Lombok Timur
Amaq Sukri (Pedagang Gule Gending) |
Pemilihan kepala daerah kabupaten
Lombok Timur tinggal menghitung hari, berbagai aktifitas calon maupun tim
sukses terus berlangsung. Seharusnya momen seperti ini masyarakat arus bawah
akan kebanjiran rezki, karena para sang calon raja turun ke masyarakat membawa
uang segepok dengan berkampanye “Pilihlah Aku”. Namun tidak demikian yang dirasakan
Amaq Sukri seorang pedagang Gule Gending. Hidupnya tidak berubah, ia tidak
menghiraukan hiruk pikuk pilkada dan bagi-bagi duit, karena baginya hanya orang
tertentu yang mendapatkan duit tersebut.
Penulis cukup lama memperhatikan
laki-laki bertopi ala Coboy itu di depan salah satu sekolah dasar, tak bergerak
sedikitpun , rupanya pedagang kembang gula itu tanpa sadarkan diri terlelap
memeluk lututnya menanti jam istirahat murid sekolah dasar tersebut keluar
bermain. Mungkin mendengar langkah menghampirinya barulah dia terkejut dan
terjaga, dengan senyum ramahnya laki-laki yang sudah berambut dua itu mengusap-usap
matanya sambil membetulkan posisi duduknya. Amak Sukri (60 tahun) mengaku
menggeluti profesi yang di sebutnya sebagai pedagang Gule Gending itu sejak
muda sudah akrab dengan profesi ini, laki-laki tua yang berasal dari Desa
kembang Kerang Kecamatan Aikmel ini menceritakan sekelumit perjalanannya
menjadi pedagang Gule Gending, dia menceritakan bahwa tidak hanya berjualan
keliling di Pulau Lombok saja akan tetapi hingga keluar daerah seperti sumbawa,
bima, dompu bahkan hingga pernah menginjakkan kakinya berkeliling di tanah Kupang
NTT, “ bukan hanya di pulau lombok saja tetapi di luar daerah juga saya pernah
mengadu nasib dengan bejulan Gule Gending ini, tapi karna saya sudah tua
makanya sekarang saya hanya di wilayah
terdekat saja seputar Lombok Timur (dengan bahasa sasak)” tuturnya. Siswa-siswi
Taman kanak-kanak dan tingkat Sekolah Dasar menjadi sasaran utamanya, dengan
berjalan kaki dari sekolah ke sekolah lainnya Amak Sukri dapat mengantongi
hasil anatara Rp.50.000,- hingga Rp.60.000,- per harinya, sisa dari ongkos dan makan hanya tersisa Rp.
25.000 hingga Rp30.000, kendati penghasilan yang hanya sekedar menyambung hidup
dengan istri dan keempat anaknya itu, Amak Sukri masih tetap menyukai
pekerjaannya ini. Pekerjaan yang dianggap hanya dapat memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari ini merupakan pekerjaan yang dinilai halal dan berkah untuk
keluarganya. “ saya menikmati pekerjaan ini, disamping saya dapat uang juga
menyehatkan, karena saya terus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat
lainnya, dari rumah setelah sholat subuh saya naik mobil angkutan sampai ke
tempat tujuan dan jalan kaki berkeliling dari sekolah ke sekolah dan dari
kampung ke kampung lainnya, saya memang punya sebidang sawah namun istri saya
yang urus masalah itu, karna menjadi petani apa lagi sawah hanya seadanya tentu
sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga, akhirnya kita bagi tugas saja sama
istri” tuturnya panjang. Mengambil keputusan ke luar daerah hanya untuk
berjualan kembang gula merupakan keputusan yang bukan asal-asalan atau sekedar
cari pengalaman semata, akan tetapi menurut
Amak Sukri bahwa daerah Lombok khusunya Lombok timur juga belum mampu
menjadi tempat yang mampu mensejahterakan penghuninya sekelas Amak Sukri, “ saya
berjualan hingga ke luar daerah ketika saya rasa pendapatan mulai menurun, kan
lombok ini khusunya lombok timur juga belum mampu menyediakan lapangan
pekerjaan buat orang-orang seperti saya dan itu juga sebabnya banyak yang ke
malaysia” jelasnya. Sambung Amak Sukri, kalau
memang daerah ini (Lotim) banyak peluang pekerjaan tentu akan sulit mengambil
keputusan mengadu nasib ke daerah lain atau ke luar negeri seperti banyaknya
masyarakat lombok timur yang meninggalkan keluarganya ke negara Malaysia
“kondisi seperti ini juga yang memaksa kita hingga pergi mencari nafkah ke
negeri orang, ya kan....” jelasnya setengah bertanya. Ditanya soal hiruk
pikuknya pesta demokrasi yang akan terlaksananya Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur 13 Mei mendatang, si petualang dari
kecamatan Aikmel itu mengaku tidak pernah mau tahu “ yang nyalon-nyalon jadi
pemerintah itu saya tidak kenal, lagian juga mereka tidak mengenal saya, kalau
tiba waktunya memilih saya akan milih, itupun kalau ada kesempatan, bagi saya
tidak terlalu penting karena kalau saya tidak kerja keras juga tidak makan,
saya tidak terlalu peduli soal itu” tegasnya singkat dengan logat bahasa sasak
yang kental.
Menurut Amaq Sukri, pemimpin kita
kalau ada maunya baru dia turun, pura-pura simpati pada rakyat kecil, tapi
kalau sudah jadi, mereka seolah tidak kenal dengan rakyatnya sendiri yang
membuatnya jadi raja, buktinya kita masyarakat kecil belum mendapat perhatian
seperti yang rakyat harapkan, dan juga pemimpin kita sering lupa ingatan kalau
masalah rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar