Oleh : Wigitsni Zahrah
“Akan ada ketenangan dibalik kegelisahan, ada senyum dibalik airmata,
jika selalu menyertakan Tuhan disetiap langkahmu” (NN)
Aku tidak tau sejak kapan rasa itu bersemayam dalam jiwa, meski
telah ku yakinkan diri tentang ‘tak sepantasnya rasa itu ada’, terlebih jika
rasa itu pada dia.
Ku buka kembali lembaran-lembaran itu, lembaran yang
bercerita tentang bagaimana aku selalu
berusaha menghindari dia sejak bertahun-tahun lamanya.
Sebelumnya, percayalah.... aku tak pernah berniat hijrah
demi manusia, Itu murni karna Rabb-ku semata.
Sejak aku mengikuti berbagai acara yang didalamnya dialah
yang menjadi pematerinya, tiba-tiba saja entah darimana berawal, perasaan
kagumku berubah menjadi lain, perbedaan kontras yang terus mengusik setiap
denyut jantungku. Ada desiran di lubuk hati yang tak mungkin ku abaikan.
Maafkan aku karena ini bukan hakku untuk bisa memilih rasa,
mana yang harus ada dalam hati yang ku punya, selera itu hakiki, dan itu
merupakan anugrah.
Karena ku tahu betapa tak pantasnya aku memiliki rasa ini
padanya. Aku selalu berusaha untuk tidak pernah menemuinya apa lagi sampai
harus mengekori setiap jejak langkahnya.
Pernah suatu ketika dijalan yang akan kulalui, nampak dari
kejauhan ia berdiri, maka seketika itu pula aku mengubah haluan, begitu juga halnya ketika aku dan dia berada
disebuah acara yang sama, aku memilih untuk diam seribu bahasa dan menghindar
sejauh yang ku bisa, agar tidak berpapasan ataupun saling bertegur sapa.
Setiap kali dia bertanya tentang sesuatu, aku selalu sebisa
mungkin untuk memberi jawaban, padahal jawaban yang kuberikan pula acapkali tak
dihargai,.....dan itu amat menyakitkan. Aku hanya ingin berbuat baik kendati
pada akhirnya aku harus menelan pil pahit.
Bagiku ia selalu berperan antagonis, berbicara denganku tak
selembut jika berbicara dengan yang lainnya. Ada rasa yang ingin ku usir dan
enyah dalam jiwa.
Aku telah banyak berupaya untuk menghilangkannya, aku juga
telah mencoba mengunci bibir agar tak satupun aksara dapat terucap, aku ingin
puasa ucapan untuknya.
Aku sudah tidak mendengarkan murottal bernada, karena setiap
mendengarnya aku akan meneteskan air mata karna ingatan tentang dia tiba-tiba bergelanyut
bak didepan mata.
Mungkin dengan meluahkan semua ini, tak akan ada beban yang
selalu terasa menindih ruang gerakku. Aku tak peduli reaksi apa yang akan diperbuat,
meski aku dapat meraba respon darinya. Sungguh......aku tak akan mengaharap
apapun darinya.
Aku harus mengatakannya dan harus beranjak pergi, serta tak
akan lagi mengusik dia bersama kehidupannya.
#Izinkan Aku Memilih Jalan Sunyi
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
0 komentar:
Posting Komentar