Dipenghujung Ramadhan
Nasib TPP Tak Semanis Harapan OJOL
Oleh : Muliadi
(TPP Desa - Kec. Wanasaba, Lombok Timur)
Sudah enam tahun saya menjadi Pendamping
Lokal Desa (PLD) sejak tahun 2018, ditataran Desa, Pendamping desa adalah sosok
makhluk ajaib terutama di desa-desa dampingan saya, Kenapa ajaib ?, karena
disetiap ruang kosong kami selalu ada menemani Masyarakat, Pemerintah Desa
maupun Lembaga dan atau Badan yang ada di masing-masing Desa, baik diminta
maupun tidak diminta kami hadir, Ruang
kosong yang saya maksud adalah ketika Desa membutuhkan petunjuk, bimbingan,
pertimbangan, motivasi, sugesti dan teman berpikir, pun ketika desa berada
dipersimpangan jalan maka disitulah kami hadir, acap kali kami tampil berperan
bak pemuka agama yang khatam kitab-kitab suci, terkadang kami hadir sebagai penceramah, kerap kali kami
melakoni peran sebagai pencerah qolbu bahkan tak jarang pula kami harus tampil
memompa semangat, melakukan doktrin agar miliaran rupiah yang mengalir kedesa-desa
tidak menerpa ruang kosong apalagi hanya sebatas pengisi kantong para cukong.
Mungkin terlalu berlebihan jika saya
mengatakan “tak ada pembangunan jika tak
ada pendamping desa”, dengan segala ketulusan jiwa dan kerendahan hati saya
mohon maaf jika kalimat ini berlebihan,
ungkapan ini hanyalah keterbatasan kosa kata saya yang ingin menyampaikan bahwa
setiap denyut pembangunan didesa tidak terlepas dari peran kami sebagai TPP.
Sejak Kepala desa terpilih misalnya, kami
sudah mengambil ancang-ancang menyingsingkan lengan baju mendorong Kades
terpilih untuk segera melakukan langkah-lankah strategis untuk mewujudkan
harapan masyarakat dan merealisasikan visi misi yang sudah diumbar dalam
kampanye politik sang Kades, kami mendorong terbentuknya tim penyusun RPJMDesa yang menjadi kiblat seluruh
rangkaian pembangunan di desa, setelah tim terbentuk kami pun menempel
seperti prangko disetiap proses dan tahapan yang dilakukan oleh tim tersebut
seperti penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan, pengkajian
keadaan desa, fasilitasi penyusunan rencana
pembangunan desa melalui
musyawarah desa (musyawarah
khusus anak, perempuan, lansia dan siabiltias) penyusunan rancangan RPJMDesa, penyusunan rencana
pembangunan desa melalui
musrenbangdesa dan berbagai kegiatan-kegiatan lainnya yang tak dapat saya
beberkan dalam tulisan ini. Keseluruhan kegiatan ini menguras tenaga, pikiran
dan waktu, kami sudah tak peduli dengan pagi, siang, sore dan malam, yang
bergayut dibenak kami adalah pemberdayaan, pendampingan, dan fasilitasi.
Dalam kegiatan pengkajian keadaan desa seperti
musyawarah dusun untuk
mendapatkan kondisi objektif desa dengan cara penyusunan peta sosial dan
kalender musim, pemetaan aset dan potensi desa, pemutakhiran data informasi dan
masalah desa serta penggalian gagasan di setiap dusun dan kelompok-kelompok
masyarakat kerap kali dilakukan pada malam hari, karena
pada malam hari warga masyarakat desa memiliki kesempatan waktu untuk terlibat
dalam kegiatan tersebut, dan kami
tetap belusukan kedusun-dusun hingga larut malam, disaat kegiatan belum usai
kami harus menelpon istri untuk memeriksa dan mengunci pintu rumah dan tidur
lebih dulu bersama anak-anak karna kami tak bisa pulang lebih awal.
Setelah RPJM
Desa disahkan menjadi kitab suci pembangunan desa maka setiap tahunnya harus
dibuka kembali untuk menyusun rencana kerja pemerintah desa (RKP Desa) dengan
segala proses dan tahapannya pula tidak luput dari dampingan dan fasilitasi
kami hingga kemudian diterjemahkan kedalam dokumen APB Desa sebagai arah
pelaksanaan pembangunan desa, pelaksanaan perencanaan terselesaikan, kami
kembali berjibaku pada proses pesiapan pelaksanaan seperti melakukan
pendampingan PKPKD, PPKD, monitoring pelaksanaan dan seterusnya, ini baru hanya
sekelumit, sekali lagi “hanya sekelumit” rutinitas tahunan, kita belum lagi
bicara soal advokasi masyarakat, fasilitasi lembaga dan atau badan didesa,
pendataan dan berbagai pernak-pernik peristiwa perdesaan, aspek ketahan sosial,
ketahan ekonomi dan ketahan ekologi desa menjadi tanggung jawab moral kami
sebagai TPP. Kami bukan pekerja manja yang selalu diruang tertutup duduk manis
dikursi empuk dengan hembusan udara dingin dari alat Air condisiner. Dalam mengawal mata rantai pembangunan desa kadang
kami harus berjemur dibawah terik matahari, ditengah pemukiman, sawah, kebun
bahkan kehutan dimana ada pembangunan dilaksanakan. Bukan hanya panas sinar
matahari tapi terkadang juga harus menghadapai panasnya atmosfer kekuatan
politik lokal yang coba menghindari regulasi negara demi menguntungkan kelompok
atau individu tertentu.
Tak semua
apa yang kami lakukan dapat dilihat dan didengar orang kadang kami berjuang
dijalan yang sunyi, yang hanya kami dan Tuhanlah yang tahu. Kerap kami mendapat
cibiran, cacian, makian dan berbagai persepsi negative lainnya atas kinerja
kami, memang kami akan selalu terlihat salah jika mereka tak dapat melihat
dengan baik. Sungguhpun demikian kami juga menyadari bahwa kami hanyalah
manusia yang juga punya potensi salah dan khilaf, tentu masih banyak kekurangan
kami dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Label “Tenanga Pendamping Profesional” yang disematkan ke kami selalu dibenamkan
dalam lubuk hati agar dapat memproduksi kinerja yang berkualitas.
Setiap langkah ke desa, setiap kegiatan
yang kami tunaikan, setiap itu pula kami laporkan melalui Daily Report Pendamping
(DRP), belum lagi permintaan laporan yang disampaikan secara berjenjang, data
setiap minggu, setiap bulan atas segala peristiwa pembangunan didesa melalui diberagam
pintu masuk (applikasi, Web, WA, dst) dan berbagai sarana lainnya. Walaupun kami
pekerja kontrakan tapi kami pekerja resmi dibawah kendali Kementerian Desa,
bahkan Menteri desa Halim Iskandar menyatakan bahwa TPP adalah anak Kandung
Kementerian Desa, sontak viral dan kami terharu bangga karena ada yang
mengharagai walaupun hanya sebatas kata-kata.
Mencermati kinerja, peran dan posisi
kami diatas, kami harus tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan
agar kami tak mengalami penurunan pengabdian ke desa-desa, Label “TPP” yang kami sandang hanyalah Lipstik agar kami lebih gaya rupanya, bukan untuk menjadikan
hidup kami lebih berjaya, bagaimana tidak, gaji kami terutama PLD dari tahun ke
tahun hanyalah itu-itu saja hingga saat ini, belum sampai menyentuh upah minimum para
pekerja yang diisyaratkan undang-undang, gaji kami masih dibawah standar upah
minimum provinsi. Saya tak mau sebutkan nominal gaji PLD karena saya malu pada
Pendamping Sosial dibawah naungan Kementerian lain yang mendapatkan gaji jauh
lebih besar dari kami padahal mereka hanya memfasilitsi Pokmas saja, kami gagah
pakai baju seragam lengkap dengan logo KEMENDESAnya tapi bukan diberikan negara
kami beli dari kantorg pribadi, kami bikin sendiri agar tidak dikatakan pekerja
liar yang tak berinduk.
Bukan hanya soal gaji, ketika diakhir
Ramadhan seringkali jiwa kami terusik ketenangannya, ketika diberbagai media
sosial heboh bicara soal Tunjangan Hari Raya atau yang lebih kita kenal dengan sebutan
THR. Mulai dari Karyawan swasta, buruh pabrik, penjaga ritel, pekerja swalayan
semuanya dapat THR, bahkan pemerintah daerah membuka posko pengaduan jika para
pekerja itu tak mendapatkan THR, meraka sebut pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berhak
mendapat THR. Teman saya, tetangga saya bahkan keponakan saya yang menjadi karyawan
swasta setiap jelang akhir Ramadhan selalu dapat THR, hingga suatu waktu istri
saya melontarkan pertanyaan ke saya, “Kenapa Mas yang bekerja dibawah naungan
kementerian tidak dapat THR ?, padahal yang karyawan toko swalayan saja, dapat
dia THR” celetuknya. Saya tak menjawab karena memang tidak tau jawabannya, saya
hanya bersandar dipilar teras yang sudah mulai melapuk, merenungi nasib TPP
Kementerian Desa yang tak kunjung dapat THR.
Di tahun
2024 ini, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengatakan “pengemudi
ojek online (OJOL) dan Kurir berhak mendapatkan tunjangan hari raya (THR)
Lebaran 2024” berita yang tersiar di media cetak, elektronik dan media sosial
lainnya ini bagai cambuk halilintar, yang mencabit-cabit rasa keadilan, teringatlah
kami tentang label kami (TPP), tentang dimana kami bernaung (Kementerian Desa
PDTT), dan tentang pengabdian kami yang tak kenal waktu, dan kenapa kami tak
mendapatkan THR ?
Walau nasib kami tak semanis OJOL dan KURIR, tapi diantara Membangun Desa dan Desa Membangun disitulah kami tetap berdiri.
Mereka punya harapan karena ada Kementerian
yang mendorong mereka untuk membayar THRnya, kami TPP hanya diupyakan
agar gaji kami keluar sebelum Idul Fitri, itu saja.
Salam Berdesa
15 komentar:
Betul kang..kita tdk di hargai layaknya orang bekerja..
Kemana bapak kandongKu,,,,,,Hai Kemendes..
Ayo bantu share tulisan ini, biar para oemangku kebijakan tau pikiran dan isi hati TPP
Ayo bantu share tulisan ini ke grup² WA FB biar para pemangku kebijakan tau isihati, pikiran dan harapan para pendamping desa.
Bagaiamana kalau yg dr 2015,...
Mlet q nangis baca iya meton
Gajih juga dibanding Sama buruh pabrikan beda jauhh
Saya sih YESS sangat
Menyedihkan nasib ta
Angkatan 2015 s/d 2018 nasib sama, sama² tdk dipedulikan 😭
Gaji ditambak udang di desa 700rb/minggu, sbulan brarti 2,8jt, kerja dr jam 08 s/d 17.00
PLD 2jt, blm potong BPJS, sy masukan permohonan kerja di tambak itu tp pekerja sdh cukup 😭
Seringkali kita dijawab dengan ungkapan "Kalo tdk puas dengan gaji silahkan cari pekerjaan lain, masih bnyk yg antri ingin jd pendamping desa", tentu jawaban ini sangat tdk manusiawi
Pendamping PKH gaji 3.2jt, baju seragam, rompi, tas dikasi Kemensos, dulu sering keluar daerah jg utk pelatihan/peningkatan kapasitas, padahal mereka cuman mendampingi Kelompok masyrakat (KPM) saja.
Miris memang nasib TPP Kemndes trrutama PLD
Para pemangku kebijakan itu taunya kita bekerja dan bekerja, tp mereka tdk mau tau kebutuhan kita, tdk tau masalah yg kita hadapi, tak mengerti dgn rintihan hati dan kekacauan piktan kita.
Semoga para pemangku kebijakan tersentuh hati nuraninya 🤲
Posting Komentar