Hubungan Habibie dan Ainun
makin dekat dan cinta membawa mereka menikah pada 12 Mei 1962 di Bandung.
Bacharuddin Jusuf Habibie
atau yang akrab disapa BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari adalah dua siswa yang
termasuk cemerlang di kelasnya masing-masing saat SMA. Kebetulan guru pelajaran
ilmu pasti mereka sama. Melalui candaan Gouw Keh Hong, si guru ilmu pasti, Habibie
dan Ainun “dijodohkan”. “Ini menarik kalau Hasri jadi dengan Habibie. Jika
mereka jadi suami istri, anaknya bisa pintar-pintar,” kelakar Guru Gouw di
kelas seperti diingat Habibie dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di
Mata Orang-orang Terdekat (2012: 1-3) yang disusun A. Makmur Makka. Siapa
sangka candaan sang guru ternyata menjadi kenyataan. Namun ternyata hingga
mereka lulus dan Habibie melanjutkan study ke Jerman keduanya tak pernah
benar-benar dekat. Rudy sapaan akrab Habibie saat muda awalnya memang tak
pernah punya perasaan apapun pada Ainun, namun sang ibu lah yang menginginkan
keduanya menikah. Rudy kala itu masih enggan dan kurang tertarik dengan urusan
percintaan, ia lebih tertarik untuk segera menyelesaikan study doktoral sambil
bekerja di Institut Konstruksi Ringan Aachen.
Cinta Tumbuh di Teras Rumah Ainun
Namun ternyata semua berubah,
saat itu Rudy diantar Fanny, adiknya untuk bertamu ke rumah Ainun di
Ranggamalela. Pertama kali bertemu muka dengan Ainun yang telah beranjak
dewasa, seperti dituturkan Gina S. Noer, Rudy terkejut. Ainun yang dulu pernah
ia perolok dengan julukan “gula jawa”, karena menurutnya jelek, kini
dibilangnya “gula pasir” karena kejelitaannya, dicatat Gina S. Noer dalam Rudy:
Kisah Masa Muda Sang Visioner (2016: 238). Semangat Rudy kian menyala ketika
keduanya bercakap di teras rumah Ainun. Saat makan malam bersama keluarga
Besari, Rudy sempat bercerita tentang upaya mahasiswa Indonesia di Jerman untuk
melakukan perubahan di tanah air. Lalu Ainun bertanya, “Apa yang sudah kalian
kerjakan untuk menciptakan perubahan itu?” Rudy kembali terkejut, baginya
seumur hidup, belum pernah ada perempuan yang bertanya semacam itu kepadanya.
Tak disangka, gadis itu punya perhatian pula pada peran mahasiswa bagi tanah
air.
Ibunda Rudy pernah berpesan
agar saat mencari pendamping harus mampu mengimbanginya. Barangkali memang
Ainun lah pendamping itu. Dari obrolan di teras rumah Ainun itulah rasa saling
suka tumbuh di antara mereka. Rudy merasa Ainun adalah kawan bicara yang mampu mengimbanginya.
Ainun selalu menunjukkan antusiasme dengan intensitas yang sama saat mengobrol
dengan Rudy. “Saya ingin membangun bangsa ini supaya kualitas hidupnya
meningkat, bukan hanya pangan dan rumah, melainkan pendidikan. Rakyat bisa
punya wawasan. Saya mau menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Rudy tentang
cita-citanya kala mengajak Ainun jalan-jalan. “Saya mau menyehatkan rakyat
sebab hanya orang sehat yang bisa bekerja di tempat kamu. Saya sehatkan SDM
biar bisa kamu pakai,” balas Ainun (hlm. 240).
Menikah dan Melanjutkan Hidup di Jerman
Hubungan keduanya makin dekat
dan cinta membawa mereka menikah pada 12 Mei 1962 di Bandung. Sebulan kemudian,
mereka terbang ke Jerman. Tiga tahun pertama pernikahan, Rudy fokus sebagai
pencari nafkah dan membangun karier. Sedangkan Ainun mengurus rumah tangga.
Ainun pernah menulis surat kepada A. Makmur Makka untuk keperluan publikasi buku
Kesan dan Kenangan Setengah Abad Prof.Dr.Ing. B.J. Habibie (1986). Versi
lengkap surat ditampilkan pada Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata
Orang-Orang Terdekat (2012). Di antara semua kejadian yang ia lalui puluhan
tahun bersama Habibie, Ainun memilih untuk menulis tahun-tahun pertama
pernikahan mereka.
Tiga setengah tahun pertama
berumah tangga adalah waktu yang sangat menantang bagi Ainun. Ainun sempat
didera kesepian di negeri orang dan itu sungguh bukan hal mudah. Ia tidak punya
teman bicara. Habibie kerja sampai larut malam agar bisa lancar mendapat
promosi pekerjaan. “Penghasilan kami pas-pasan. Suami harus mencuri waktu
bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api. Ia pulang jam 11 malam
dan lanjut menulis disertasi. Dua sampai tiga kali seminggu ia berjalan kaki
sejauh 15 km ke tempat kerja. Sepatunya berlubang dan hanya ditambal ketika
musim dingin. Ketika hamil anak pertama, saya belajar menjahit untuk menghemat
biaya. Lama-lama jahitan saya tidak jelek. Saya bisa memperbaiki yang rusak,
membuat pakaian bayi, dan menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin.
Prioritas kami sebelum Ilham lahir ialah membeli mesin jahit. Tidak ada uang
kecuali untuk membeli mesin jahit,” tulis Ainun. Ia berkata harus melakukan
segala sesuatu sendiri agar sang suami bisa memusatkan perhatian pada tugasnya.
“Hidup berat, tetapi manis.” Kebahagiaan Ainun tiba di malam hari saat ia dan
Habibie bisa menjalani aktivitas masing-masing di ruangan yang sama.
Tulisan itu ialah satu dari
sedikit perkataan Ainun tentang kehidupan personal Ainun yang dimuat di media
massa. Makmur berkata, Ainun bukan orang yang nyaman diwawancara tentang topik
selain aktivitas organisasi yang didirikannya, semisal Orbit, lembaga penyedia
beasiswa bagi murid-murid kurang mampu. Akhirnya setelah anak-anak mereka cukup
besar untuk bisa dititipkan kepada pengasuh, Ainun baru bisa ikut membantu
ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit di
Hamburg. Dengan pekerjaan itu, Ainun dapat mandiri dengan gaji yang hampir
menyamai Rudy. “Saya bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck,”
ungkap Ainun dalam memoarnya yang bertajuk “Tahun-tahun Pertama”, yang
terhimpun dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang
Terdekat (hlm. 130). Tapi dua tahun setelahnya Ainun justru memutuskan untuk
berhenti bekerja. Keputusan itu ia ambil saat Thareq, anak bungsunya, sakit
keras. Kala itu ada gejolak dalam dirinya, ia merasa bisa mengurus anak orang
lain tapi lalai dalam mengurus anaknya sendiri.
Saat Badai Menghantam Habibie
Kekuatan cinta antara Habibie
dan Ainun memang tak perlu diragukan, keduanya bisa saling mendukung dan
melalui masa sulit bersama. Bahkan saat Ainun di vonis dokter menderita kanker
ovarium kala itu. Saat itu Hasri Ainun Besari menjalani pemeriksaan MRI dokter
menyatakan Ainun menderita kanker ovarium stadium lanjut. Mendengar hal itu
Habibie lantas menelepon Duta Besar Jerman di Jakarta. Ia meminta agar
dibuatkan visa untuk berkunjung ke Jerman dalam beberapa jam ke depan. “Harus
jadi hari ini juga. Saya harus berangkat ke Jerman,” katanya mengulang
perkataan kepada sang duta besar. Ia mengucap lagi kalimat tersebut saat
menjadi bintang tamu acara bincang santai Rosi di Kompas TV. Sang duta besar
kebingungan. Habibie tetap memaksa. Ainun sakit keras dan Habibie baru saja
mengetahui hal itu. Usai MRI, Ainun yang telah sadar mencoba menenangkan dengan
berkata pada suaminya bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Namun Habibie menjawab dengan
perkataan “ovarium stadium 3-4,” mendengar itu Ainun hanya terdiam, ia sudah
tidak bisa lagi menyembunyikan kondisi kesehatannya. “Saya tidak mau mati di
luar negeri,” kata Ainun kepada Habibie. Ainun bersedia pergi bila sang suami
berjanji akan membawa dirinya kembali ke Jakarta pada Desember 2010 agar bisa
menghadiri rapat Bank Mata, organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi
para tunanetra. Ainun aktif di sana. Ia yang membuat lembaga ciptaan Tien
Soeharto itu kembali berfungsi. Habibie siap memegang komitmen tersebut. Namun
janji itu urung ditepatinya, Ainun wafat pada 24 Maret 2010 di Jerman setelah
menjalani sembilan kali operasi. Selama sakit tak sedikitpun Habibie
meninggalkan Ainun, begitu pula saat Ainun meninggal. Ini menjadi hantaman
badai besar bagi kehidupan Habibie. Setiap hari selama 100 hari pertama,
Habibie ziarah ke makam sang isteri.
Setiap malam ia tidur
ditemani anak dan cucu. Bahkan setelahnya selama seminggu sekali ia tetap
berkunjung ke makam isterinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk mengganti bunga
yang mulai layu di atas makam Ainun. Kepedihan ditinggal istri membuat Habibie
menderita penyakit psikosomatis. Dokter berkata, bila Habibie tidak melakukan
apapun untuk tubuhnya, ia bisa menyusul Ainun dalam waktu tiga bulan. “Bapak
kehilangan orang yang bisa melindunginya. Ibu punya insting tajam. Dia bisa
membisikkan Bapak, menjauhkannya dari hal-hal jahat yang muncul di sekitarnya.
Pasangan ini bisa memberi nilai untuk satu sama lain. Pernikahan ialah kerja
keras dan tidak semua berakhir baik. Ibu dan Bapak ialah dua orang cerdas dan
dewasa sehingga mereka bisa melalui ini,” kata Gina S. Noer, penulis skenario
film Habibie & Ainun. Habibie memilih bangkit dan berupaya menyembuhkan
diri dengan menulis kisahnya bersama Ainun. Buku berjudul Habibie & Ainun
terbit pada November 2010. Setelah melalui perjuangan panjang bertahan tanpa
ada sang isteri yang mendampinginya, Rabu 11 September 2019 pukul 18.05 Habibie
menghembuskan nafas terakhir, menyusul Ainun di keabadian.
0 komentar:
Posting Komentar